Monday, April 30, 2007
Neruda Pernah di Jakarta!
Ithaca
That the summer mornings are many,that you will enter ports seen for the first time
with such pleasure, with such joy!
Stop at Phoenician markets, and purchase fine merchandise, mother-of-pearl and corals,
amber and ebony,and pleasurable perfumes of all kinds,
Ithaca has given you the beautiful voyage.Without her you would never have taken the road.
(Sayangnya) Tanpa Sumber
ASUMSI
Thursday, April 19, 2007
Tentang Emosi dan 'Mengalami'
Buru-Buru Production
Tuesday, April 17, 2007
GOKIL!
Saturday, April 14, 2007
EKSIL dan Ekspektasi
Enam puluh tahun plus..
Thursday, April 12, 2007
FAQ Jelang 21 April
Wednesday, April 11, 2007
"Strategi" 3-D
Sunday, April 01, 2007
Harga Tiket Turun Lho Jewnk!
Siapa tak senang harga tiket nonton bioskop turun cukup lumayan? Para pembuat film yang belum terlalu mapan seperti saya masih ikut senang lho, karena kalaupun ini berarti pendapat dari hasil penjualan tiket jadi semakin kecil tapi kita harus optimis kebijakan harga baru tiket ini bisa membuat penonton jadi semakin rajin ke bioskop. Di Indonesia, kalau mau hidup, harus optimis!
Nah, di penghujung Bulan Film Nasional kemarin (31 Maret 2007), entah kenapa saya pingin ngemil popcorn. Tentunya, sayapun beli di bioskop kawasan TIM karena kebetulan lagi ada di sana. Melewati ticket box selintas terbaca harga tiket yang berkisar antara Rp. 10 ribu hingga Rp. 15 ribuan. Sampai di kantin saya menunjuk satu gelas bening berisi popcorn manis, dan untuk itu saya harus merogoh kantong Rp. 10 ribu! Ampyuun, harga tiket nonton kok nyaris sama dengan harga popcorn ya? Pengelola bioskop dan pengelola kantin itu bukannya badan yang sama ya? Kok harga tiket turun, jagungnya enggak? Padahal, tanpa mengurangi rasa hormat, lebih susah bikin film lho-daripada bikin popcorn?
Urat protes saya nyaris kambuh saat itu juga! Tapi kemana protes ini harus saya ajukan? Maksudnya kalau mau protes tapi enggak dampak kan percuma? Apa harus ke DPR? Tapi di sana pasti ribet, nungguin mereka sidang, dst. Males. Enggak jadi. Ke BUDPAR? Tapi "skripnya" gimana coba? Masak saya harus bilang, "Pak, tahu enggak hasil kerja pembuat film di sini harganya sama dengan popcorn?" (O iya, bisa jadi derajat popcorn malah lebih tinggi lagi, karena enggak kena pajak tontonan!)Berarti harus audiensi lagi, cerita lagi urusan masalah film selama ini, padahal udah disampaikan terus lho dari tahun 2005, via temen-temen saya. Dan yang itu aja belum beres-beres. Capek ah. Males. Haruskah saya beralih profesi jadi pembuat popcorn? Tapi enggak ding, popcorn saya nantinya pasti bakal lebih mahal lagi, karena saya percaya betul dengan kerja kelompok dan kadung cinta dengan teman-teman seprofesi dan maunya ya mereka terlibat juga dong. Kalau teman-teman saya terlibat berarti harus tetap ada proses pra-produksi, paska produksi, dstnya. Untuk orang yang sebawel saya meng'casting' jagung yang pas aja bisa lama sekali. Jadi saya segera menepis ide alih profesi itu tadi. Intinya begini sajalah, di Indonesia, kalau mau hidup, harus punya rasa humor..