Monday, April 30, 2007

Neruda Pernah di Jakarta!







Siapa tak kenal Pablo Neruda (1904-1973)? Penyair kelahiran Parral-Chile itu sekitar tahun 1927-1945 pernah melanglang buana, dan di satu masa bahkan menetap di Jalan Purbalingga, Jakarta. Kata kawan saya rumah itu sekarang ada dalam kondisi merana. Tapi tulisan ini bukan soal itu.

Salah satu puisi Neruda yang paling 'megang' istilah gaul sekarang adalah Tonight I Can Write. Tentunya banyak dari Anda yang akrab dengan judul ini. Tapi, bagi yang belum pernah dengar, saya kutip beberapa bait dari puisi itu di halaman ini,
Tonight I can write the saddest lines.
Write, for example, 'The night is starry
and the stars are blue and shiver in the distance.'
The night wind resolves in the sky and sings.
Puisi ini lumayan panjang, silakan browsing di internet untuk mencari kelanjutannya atau mampirlah ke toko buku dan carilah "Twenty Love Poems and A Song of Despair", karya Neruda tentunya. Kalau Anda lihat foto pria ganteng di tulisan ini, itu bukan saya copy dari katalog Armani. Sumpah. Foto itu adalah Pablo Neruda saat berusia 20-an. Di mana ada stock laki-laki seperti itu hari gini? Wah, itulah masalahnya. Neruda terlalu cepat mampir ke Jakarta! Tapi saya kan kerap bilang, kelihatannya kita memang lahir di jaman yang salah. Ha..ha...ha..






Ithaca







Constantine P. Cavafy (1863-1933) kerap disebut sebagai the poet's poet. Salah satu puisinya yang paling dikenal adalah yang saya kutip buat Anda berikut ini. Pertama kali saya mendengar puisi ini dibaca, saya masih terlalu kecil untuk mengerti. Tapi barangkali umur, terkadang bekerja seperti anggur, kalau dibiarkan mengendap lebih lama, dia jadi punya daya kerja. Bukannya sok tua, tapi silakan sajalah Anda baca! Bagi penganut paham perjalanan yang sesungguhnya itu ada pada saat dia menempuh perjalanan itu sendiri dan bukan semata-mata karena harus segera tiba di tempat tujuan, dan bagi mereka yang masih percaya proses dan bukan sekedar hasil akhir yang asal jadi, semoga Anda bisa suka dan bersedia ikut mencari dan kelak menemukan makna Ithaca.

Ithaca

When you start on your journey to Ithaca,
then pray that the road is long, full of adventure, full of knowledge.
Do not fear the Lestrygoniansand the Cyclopes and the angry Poseidon.
You will never meet such as these on your path,if your thoughts remain lofty,
if a fine emotion touches your body and your spirit.

You will never meet the Lestrygonians, the Cyclopes and the fierce Poseidon,
if you do not carry them within your soul,if your soul does not raise them up before you.
Then pray that the road is long.

That the summer mornings are many,that you will enter ports seen for the first time
with such pleasure, with such joy!
Stop at Phoenician markets, and purchase fine merchandise, mother-of-pearl and corals,
amber and ebony,and pleasurable perfumes of all kinds,
buy as many pleasurable perfumes as you can; visit hosts of Egyptian cities,
to learn and learn from those who have knowledge.

Always keep Ithaca fixed in your mind.To arrive there is your ultimate goal.
But do not hurry the voyage at all.It is better to let it last for long years;
and even to anchor at the isle when you are old, rich with all that you have gained on the way, not expecting that Ithaca will offer you riches.

Ithaca has given you the beautiful voyage.Without her you would never have taken the road.
But she has nothing more to give you.And if you find her poor, Ithaca has not defrauded you.With the great wisdom you have gained, with so much experience,
you must surely have understood by then what Ithacas mean.

(Sayangnya) Tanpa Sumber







Saya bukan penggemar kutipan. Tapi ada juga beberapa yang melekat di kepala, barangkali karena memang relevan atau bisa saya 'beli' esensi/substansinya. Bisa jadi juga karena si pembuat kalimat yang akhirnya saya kutip itu tak asal ngomong, tapi menyarikan kalimat itu dari pengalaman hidup. Beberapa hari lalu saya bertemu dengan kalimat, "...kehidupan dijalani dalam kekinian, namun dipahami dalam ingatan." Tertulis di dalam sebuah artikel, namun si penulis sendiri tak ingat siapa sumbernya.

Lalu ada beberapa lainnya yang saya ingat juga seperti, "...if you lived creatively, you'd be able to design your life instead of just surviving it." Ini ucapan salah seorang Creative Director ternama, dan kok ya pas dengan kondisi saya yang waktu itu sedang bingung antara terus bekerja di sebuah advertising agency atau cabut untuk menjadi penulis skenario.

Dan tentunya ada sejumlah kutipan yang saya ingat sumbernya juga, seperti Rainier Maria Rilke yang bilang, "Ask the question now!" Yang terakhir ini menurut saya jadi 'wajib' hukumnya terutama bila kita ada di dunia kreatif. So, what's your today's question?

ASUMSI







Suatu saat segerombolan dokter muda yang tergabung di dalam kelompok nekat Medecins Sans Frontieres, menghabiskan malam pertama mereka di Afghanistan dalam sebuah tenda sambil diliputi ketakutan yang luar biasa. "Kami mendengar suara riuh rendah orang bicara sambil berteriak-teriak, dalam bahasa yang tak kami pahami sama sekali," demikian tutur salah satu di antara mereka. Ketegangan mereka bertambah ketika tenda mereka digoyang-goyang sejumlah orang dari luar, "Kami berasumsi, tak salah lagi, sebentar lagi pasti ada kerusuhan besar!" tambah yang lainnya. Dan sepanjang malam mereka terjaga dalam kengerian. Hingga pagi tak terjadi apa-apa, ketika tak terdengar suara apapun dari luar barulah para dokter itu memberanikan diri meninggalkan tenda. Ada secarik kertas bertuliskan pesan singkat dalam bahasa setempat, ketika penterjemah datang dan mengartikan pesan itu untuk mereka barulah para dokter paham apa yang sebetulnya terjadi tadi malam, rupanya para penduduk berpesta ria dan sebetulnya berniat mengajak mereka serta!

Lain Afghanistan lain Virginia. Virginia Tech akan selalu diingat sebagai ladang pembantaian tempat seorang mahasiswa asal Korea menghabiskan nyawa 32 orang beragam bangsa dan usia di kawasan kampus itu. Ikutilah reportase seputar berita ini, dan silakan bingung sendiri, kenapa perlu waktu begitu lama untuk membekuk seorang pembunuh amatir? Sampai dia sempat kembali ke kamar kosnya untuk mengisi ulang senjatanya dan kembali ke kampus guna menembak ulang para korbannya? Alasan salah seorang mahasiswa yang sempat mendengar suara tembakan beruntun tiga kali di kejauhan, "Asumsi saya, bisa saja itu suara angin yang kebetulan hari itu berhembus kencang.." Laporan saksi lainnya, "Ada dentuman keras dari kamar tak jauh dari kamar kos saya di asrama, tapi asumsi saya, itu mungkin karena pintu dibanting oleh seorang mahasiswa yang sedang bete." Seorang veteran FBI yang belakangan ikut menangani tragedi ini dengan muak berkata, "Assumption is the mother of all f**k ups!" Dia tidak bicara kasar tanpa alasan, tapi itulah ajaran FBI yang harus ngelotok di benak seluruh jajarannya.

Sudah terlalu banyak tragedi yang berawal dari asumsi. Juga terlalu banyak generalisasi yang lahir dari asumsi. Masalahnya dengan asumsi adalah, dia tak pernah bisa jadi basis yang kuat untuk membuat seseorang sampai pada kesimpulan yang tepat, boro-boro bisa mengantar siapapun untuk melakukan tindakan yang benar. Pelajarannya? Haramkan asumsi!

Thursday, April 19, 2007

Tentang Emosi dan 'Mengalami'




Waktu Anne Frank menuliskan buku hariannya, ia pasti tak menyangka betapa dahsyat dampak tulisannya itu kelak. Ia cuma menulis dan menulis dan terus menulis. Yang membedakan Anne Frank dengan banyak penulis atau 'penulis' karbitan adalah, ia membiarkan emosinya 'telanjang' dan dilahap mentah-mentah oleh para pembacanya. Ada juga Susan Cisneros, yang bercerita soal impian anak perempuan keturunan Amerika Latin yang memimpikan suatu saat kelak keluarganya yang miskin punya rumah, dan itu ditulis dengan cantik, efektif, juga jujur dalam "The House on Mango Street".

Ini problemnya, koneksi kita dengan karya seni/sastra/kreatif, baru bisa terjadi bila kita tersentuh pada tingkatan emosi. Ini yang banyak belum dipahami sebagian adik-adik yang masih bingung membedakan bacaan dengan 'bacaan', tulisan dengan 'tulisan'. Anne Frank atau Susan Cisneros boleh saja menuliskan kisah 'anak muda', tapi tak lantas jadi 'teen-lit' atau 'chick-lit'. Karena yang mereka tulis itu soal hidup, dan kehidupan yang mereka tahu, pahami, alami, dan mengerti.

Kehendak untuk 'mengalami' inilah yang juga jadinya penting. Martin Aleida, di salah satu forum diskusi beberapa waktu silam sempat bilang antara lain, kemauan untuk mengalami ini memang sulit dipaksakan, ada yang ekstrimnya nih, sudah dimasukkan ke dalam gentong, disegel dan digilindingkan dari atas jurang pun tetap emoh merasakan apa-apa. 'Mengalami' itu perlu waktu dan pengendapan, jadi menyambung Buru Buru Production, urusan ini tidak bisa dipaksakan sama sekali. Saya suka ketawa kalau ada adik-adik yang jadi 'belagak tua' sebelum masanya cuma demi niat membuktikan diri. Beberapa bakat yang tak terduga justru bisa terlihat ada di mereka yang tidak ngotot untuk membuktikan dirinya berbakat. Dan mereka ini juga tidak terlalu berusaha untuk tampil, aktif bertanya ini-itu yang enggak penting, karena biasanya mereka justru sibuk menyerap. Bila suatu saat tiba-tiba mereka muncul, itu karena waktulah yang sudah menentukan kemunculan mereka. Bukan karena terpaksa atau dipaksa.

Buru-Buru Production











Ada sesuatu yang sering bikin kita terburu-buru, barangkali sesuatu itu bernama nafsu. Barangkali. Tapi untuk hal tertentu saya enggak akan pernah bisa mengerti soal ketergesaan yang kadang bisa menyesatkan orang. Barangkali karena kadung pasang target 'setoran', seringkali juga karena salah lihat. Kelihatannya sih begitu. Barangkali.

Contohnya begini, saya kerap ketemu adik-adik yang belum lagi lepas SMA dan mereka ingin bikin film atau menulis. Yang mau bikin film belum-belum sudah tanya bagaimana caranya ngedit, atau mengoperasikan kamera. Yang ingin menulis kerap tanya, gimana caranya ketemu penerbit? Atau mengirimkan naskah ke saya minta tolong dikasih komentar, atau diedit, atau minta diberikan kata pengantar karena sudah mau diterbitkan, padahal saya belum baca tulisan mereka sama sekali. Kalau urusannya menulis skenario, ada beberapa yang langsung mengajak co-writing.

Lupakan soal cara mengedit film, apalagi mengoperasikan kamera. Kalau tanya ke saya, ini masuk klasifikasi pertanyaan retoris, sederhananya karena saya gatek berat lah.Wong bikin link ke blog kawan-kawan saya aja baru paham dua atau tiga hari yang lalu kok? Tapi saya heran, alasan mau bikin film kok diawali dari editing dan kamera ya? Kenapa? Nah, kalau yang tanya alamat penerbit, atau minta kata pengantar, atau mengajak co-writing, ini dia yang kerap menimbulkan dilema. Karena, meski saya sangat senang kalau ada adik-adik yang berani bertanya dan sudah jelas maunya apa, saya enggak yakin kemauan menulis itu awalnya lahir dari dorongan pingin ketemu penerbit. Apanya yang mau diterbitkan? Kenapa harus terbit sekarang? Siapa yang harus baca? Juga saya bingung kalau diminta memberikan kata pengantar atau menyuntingkan naskah. Saya sendiri masih merasa harus terus berproses, dan selalu merasa kita ini kekurangan editor, job desc saya sebagai penulis pun termasuk urusan mengejar editor itu tadi (dan sumpah, jumlah mereka tidak banyak), dan kenapa naskah itu harus ada 'yang mengantar'? Memangnya harus berangkat dari mana? Mau kemana? Dan kenapa harus sekarang juga? Memangnya siapa yang diuber? Siapa yang mengejar?

Ajakan co-writing juga kerap mengherankan. Saya percaya betul kerja tim, termasuk soal penulisan. Tapi pemahaman co-writing itu sebetulnya begini, ada dua orang (bisa juga lebih, tapi jarang lebih dari dua), yang memulai proses ini di fase yang sama. Mulai dari pengembangan cerita hingga penulisan tahap akhir. Beban tanggung jawab di antara dua penulis (atau beberapa) ini jadinya harus setara. Mekanismenya bisa tergantung mereka. Yang ideal adalah bila tim penulis ini bisa senantiasa kerja bareng. Kalau ini yang dilakukan, asumsinya kontribusi anggota tim jadi imbang, dan menurut Writer's Guild of America, dua orang penulis yang kerja dengan cara ini akan ditulis namanya dengan tanda &, misalnya Bejo & Bandi. Kalau Bejo lebih banyak bekerja dari Bandi, katakan 60:40, maka aturan penulisannya adalah Bejo and Bandi. Kalau nama Bejo ditulis di baris pertama, dan Bandi di baris kedua, biasanya awalnya Bejo menulis sendirian, tapi karena satu dan lain hal produser menarik skrip itu dari Bejo dan meminta Bandi menulis ulang TANPA merubah cerita. Dan ini kerap terjadi di Hollywood sana, film seperti Gladiator sempat pindah tangan berulang-kali dari satu penulis ke yang lainnya. Kreditasi penulisan juga jelas betul bedanya, bila dibilang written by maka yang menulis cerita dan skenario adalah orang yang sama. Bila ditulis screenplay by, berarti si penulis hanya menulis skenarionya saja, cerita dibuat oleh orang lain. Kadang-kadang ada satu segmen atau karakter tertentu yang dialognya ditulis penulis lain. Quentin Tarantino dan David Mamet kadang melakukan ini untuk naskah orang lain, maka nama Tarantino atau Mamet hanya boleh dikreditasi di ending title.
Masalahnya, yang sering terjadi adalah, orang yang mengajak co-writing ini punya pemahaman berbeda soal co-writing. Dia menganggap proses ini akan mempermudah penulisan, kalau itu yang dicari, salah besar! Atau dia berpikir ini adalah cara 'magang' bagi penulis pemula, salah lagi! Atau dia pikir kalau sudah ada 'skrip' (saya letakkan di tanda kutip, karena belum tentu sudah jadi 'skrip'), dan dia kepentok maka solusinya adalah dengan cari orang lain untuk menulis tanpa merubah apa yang dia suka, dan ini SUPER SALAH.

Esensinya sebetulnya sederhana. Semua pekerjaan kreatif/seni itu awalnya dari proses. Kalau belum-belum mau cari jalan pintas, yang paling pas adalah narik ojek-karena profesi ini memang mengharuskan si 'pilot' pandai cari jalan pintas. Kalau inginnya terkenal, wah, lagi gampang banget lho Jewnk!! Silakan cari pacar di gedung MPR/DPR, alias jalinlah hubungan dengan wakil rakyat yang sudah beristri/suami, atau dengan tokoh masyarakat berinisial AA ini dan itu (preferably married), rekamlah beragam aktifitas asmara Anda dengan handphone berkamera, putuskan hubungan (begitu punya cukup stok foto/shots), dan buatlah konperensi pers. Catat juga alamat beragam KOMNAS, just in case, geto lho.

Kalau percaya jalan 'normal', apa boleh buat, berserah dirilah pada waktu, dan sutralah, jangan buru-buru nyari penerbit, produser, investor, distributor, atau apalah itu, tapi carilah..ilmu. Caranya? Kita semua tahu lah... Jalani, lihat, serap, tumpahkan, lalu mulai dari awal lagi. Rahasianya ada pada waktu, ketika saatnya datang, tanpa kita caripun yang dicari-cari itu datang sendiri, wong memang bukan buron kok dicari-cari? Apalagi kerjaan seperti ini akhirnya sangat tergantung pada komitmen pribadi, dan seperti pepatah lama bilang, akhirnya ini bukan soal seberapa cepat kita memulai tapi seberapa lama kita bisa bertahan. Jangan heran Ingmar Bergman baru berhenti bikin film di usia 86 tahun, Terrence Mallick film-filmnya bisa dihitung dengan jari (tapi semuanya dahsyat), Ellie Wiesel usianya sudah entah berapa (secara dia pernah merasakan masa pra-remaja di kamp konsentrasi), meski enggak kenal secara pribadi saya cukup yakin, mereka-mereka ini enggak ribet nyari penerbit, produser, atau investor dari jaman mereka sekolah dulu.












































































































































Tuesday, April 17, 2007

GOKIL!




Saya adalah 'banci majalah', bukan majalah perempuan yang serba tebal dan wangi itu, tapi majalah seperti The Face, dan Interview. Dua majalah ini, dulunya, waktu nilai tukar dolar masih sangat manusiawi, sempat masuk daftar langganan saya. Dan tiap bulan tentunya saya tunggu-tunggu.

Interview sangat nyeleneh, tapi punya editorial jelas, dan enggak cuman tampil gaya. Seperti judulnya, wawancara di dalamnya juga selalu asik. Majalah ini dulunya didirikan Andy Warhol. Setelah saya beralih jadi penulis full-time di tengah gejolak ekonomi kita yang tak kunjung kelar, tentunya langganan majalah macam ini jadi tidak realistis untuk diteruskan. Tapi arsipnya tentu masih saya simpan.

Alhasil, saya pun menemukan satu edisi Interview yang mengundang alm. Gianni Versace sebagai editor tamu. Dahsyatnya edisi ini bukan cuma jadi edisi fashion semata, tapi secara intim, Versace mengajak kita memahami filosofi hidupnya yang tak biasa. Di antaranya dia bilang, "Be done with craziness. But, be crazy with what you do." Ini paham yang saya setuju. Karena kalau kurang 'tergila-gila' dengan apa yang kita kerjakan, buat apa dikerjain kan?.

Saturday, April 14, 2007

EKSIL dan Ekspektasi




Akhirnya saya sempat buat catatan sedikit dari forum diskusi yang sebetulnya sudah berlangsung cukup lama, tanggal 30 Maret silam. Hari itu, peluncuran buku "Melawan Dengan Restoran: Kisah Sobron Aidit dan Kaum Pelarian G30S/PKI di Perancis." Teman saya jadi salah satu pembicara dalam diskusi acara itu.

Kawan saya bilang ia merasa seperti "dihukum oleh harapan sendiri" karena sempat bertemu Sobron di masa hidupnya, dan ia sempat berharap sosok Sobron yang lebih 'gelap', terkait dengan masa lampau yang dilaluinya. Namun Sobron adalah sosok pria biasa, bekerja di restoran Indonesia, dan sungkan bicara tentang kehidupannya sebagai 'orang buangan' yang membuatnya harus hidup di negeri seberang.

Kenapa kawan saya, dan mungkin juga banyak orang lainnya yang kadung 'terperangkap' nama Aidit, berharap 'lebih'? Argumennya adalah, kehidupan para eksil tidaklah seromantis yang dibayangkan banyak orang. Tapi kenapa Sobron menuliskan kehidupannya dengan begitu 'ringan'. Adakah ini unsur kesengajaan? Pengingkaran? Terapi buat menghilangkan kepahitan masa silam? Apa?

Bagi yang sempat kenal Sobron, ia selalu menolak disebut aktifis politik. Betul ia adalah adik DN Aidit, tapi Sobron adalah Sobron dan bukan abangnya. Sebagai pembaca tulisannya, saya sendiri juga sempat bertanya-tanya, kenapa Sobron lebih merasa perlu bercerita soal tetangganya di Jakarta yang punya profesi dokter, atau soal pengalamannya saat tinggal di asrama mahasiswa di Cina? Kenapa bukan soal lain yang lebih 'seru'?

Ini tidak ada urusan dengan kemampuan Sobron menulis lho. Tulisannya enak dibaca dan ditulis dengan benar. Tapi ya itu, harapan kita bahwa dia akan mengajak kita ke dunia kaum eksil itulah yang tak pernah terwujud. Meski demikian, ada sejumlah tulisannya yang terasa menyentuh dan sangat personal, seperti yang dibacakan oleh Amarzan Loebis, tulisan itu dibuat Sobron saat istrinya wafat. Dan kita, para pembacanya, diperkenankan untuk 'masuk' ke dalam suasana hatinya yang saat itu sedang kelabu. Saat itu terasa sekali Sobron menulis sebagai manusia, laki-laki, suami, dan ayah yang sedang gundah.

Barangkali semua yang sudah dituliskannya untuk pembaca memang pilihan Sobron, dalam konteks sebagai pria sederhana itulah ia ingin dikenang, dan selebihnya 'kebetulan' dia adik DN Aidit, dan 'kebetulan' ia seorang eksil. Jangan-jangan ini bukan penyederhanaan tapi pilihan yang dilakukannya secara sadar. Yang jelas, apapun pilihan alm. Sobron, ia patut dikenang.




Enam puluh tahun plus..




Saya kerap mengutarakan kekaguman (bahkan sirik sebetulnya) dengan kedahsyatan para pemikir di era 50'an. Kok bisa angkatan pra-komputer (boro-boro internet) itu begitu hebat cara mikirnya?

Konon, menurut Taufiq Ismail, 60 tahunan plus yang silam, mutu bacaan buku sastra dan bimbingan mengarang siswa AMS Indonesia tak berbeda dengan mutu siswa SMU di manapun di dunia-HARI INI. Bahkan, dalam hal penguasaan empat bahasa, siswa AMS jauh lebih unggul ketimbang siswa Amerika, Jepang dan Eropa.*)

Sayangnya, mitos 'pembangunan' tiba-tiba datang dan memuliakan ilmu-ilmu eksakta. Bukannya itu salah, tapi kenapa hal tersebut harus membuat kita meninggalkan sastra? Ini bedanya dengan jaman Bung Karno, Natsir, Juanda, Ruslan Abdulgani dan Tan Malaka, yang dibuat ketagihan membaca sejak di MULO-AMS. Para pemikir ini punya kemampuan tinggi menuliskan fikiran mereka, yang dalam istilah Taufiq Ismail adalah, "..panen buah latihan mengarang di sekolah dahulu. Buku dan esai, seperti anak sungai, terbit mengalir dari tangan mereka."

Siang tadi kebetulan saya ngopi sebentar dengan salah satu editor saya. Dan dia juga punya kekhawatiran yang sama soal kurangnya 'modal' berpikir sebagian besar dari kita, termasuk para penulis dan calon penulis. Saya setuju dengan dia, banyak sekali yang mengira sudah pandai menulis karena lancar merangkai kata-kata dengan bunyi-bunyian indah tapi tanpa makna. Gaya bisa dipoles, tapi substansi cuma ada dua kemungkinan: ada atau tidak.

(*dikutip dari "Agar Anak Bangsa Tak Rabun Membaca Tak Pincang Mengarang", Pidato Penganugerahaan Gelar Kehormatan Doktor Honoris Causa di bidang Sastra Bagi Taufiq Ismail, pidato ini disampaikan oleh Taufiq Ismail, 8 Februari 2003).

Thursday, April 12, 2007

FAQ Jelang 21 April










"Jadi, apa pendapat kamu soal maraknya perempuan yang jadi (pilih salah satu: penulis/pembuat film/astronot/pembalap, dll) akhir-akhir ini?" Biasanya, kalau sedang buru-buru, 'bocoran' buat menjawab pertanyaan macam ini adalah: "Menurut saya positif!" Tapi kalau lagi 'kambuh', seperti saya beberapa hari yang lalu, sayapun menjawab, "Maksudnya 'marak'? Memangnya ada datanya?" Yang bertanya mengangkat alis, mengira saya bercanda. Saya tersenyum lebar, dia mengulang pertanyaannya, kali ini ditambah kata 'fenomena'. "Itulah mas, menurut saya, kalau mau bilang 'fenomena'-berarti harus ada data. Dua ratus? Tiga ratus? Berapa?" Saya belagak tenang. Ingin melihat reaksinya. Reporter itu berdehem, lalu tanya lagi, "Ya..sekarang kan banyak nih Prim, (pilih salah satu: penulis/penulis skenario/pembuat film/astronot/apalah) perempuan. Pendapat kamu gimana? Sebagai penulis perempuan juga?" Sekali ini dia akurat! Saya memang perempuan! Jawaban saya, "Justru saya pingin tanya, kalau menurut mas dan teman-teman reporter yang laki gimana?" Orang itu melihat saya, lalu tertawa. Saya ikut ketawa juga deh, daripada nganggur?

Menjawab pertanyaan begini memang bingung lho. Serius. Perkaranya simpel banget buat saya dan buat banyak sekali teman-teman seprofesi yang kebetulan perempuan juga, kita mah kerja ya kerja aja kan? Udah kita yang kerja, eh, ujung-ujungnya kok ya ditanyain pendapat bekerja sebagai perempuan kayak apa? Masih bagus enggak gue ceritain kerja pas PMS! Emangnya enak??

Tapi itulah realita perempuan dan media, dari dulu sampai sekarang masih sama. Pertanyaan wajib buat perempuan bekerja yang berumah-tangga, "Bagaimana cara Anda membagi waktu?" Pernah enggak pertanyaan ini diajukan ke narasumber laki-laki? Kalau mau adil, sekarang lho waktunya kita tanya ke tokoh massa yang berpoligami, "Bagaimana cara AA membagi waktu?" Adil dong? Katanya emansipasi? Atau pertanyaan bete seperti, "Pendapat kamu tentang 'sastra wangi'?" Coba saya perjelas, dengan keyakinan dan rasa hormat pada para perempuan yang bersusah payah menulis, saya tahu betul enggak pernah ada tuh yang mulai menulis dan menjuluki diri mereka sendiri sebagai 'sastra wangi'. Itu bedanya jadi penulis dengan bikin grup band tau? Lagian yang ngasih label 'sastra wangi' itu kok enggak mikir ya? Selain istilah itu 'useless', kalau saya jadi penulis laki saya pasti demo! Tersinggung! Emangnya dengan kata lain penulis laki masuk ke dalam kategori 'sastra bau'? Makanya jangan ribet di istilah!

Demi Kartini, kalau percaya emansipasi, jangan mau dikasih label, penulis/pekerja film/astronot/pembalap atau apapun 'perempuan'. Terlahirlah sebagai perempuan, lalu berusaha sebisanya jadi manusia yang utuh, dan sukur-sukur jadi pekerja sesuai panggilan hati. Titik. Itu yang dunia perlu, dan itu yang Kartini mau. Ya enggak sih? Satu hal yang sebetulnya sudah menguntungkan kita, Bahasa Indonesia tak kenal jender!

Wednesday, April 11, 2007

"Strategi" 3-D











Konon, kalau punya niat baik, jangan ditunda-tunda. Misalnya, dalam kasus kita seharusnya menyelesaikan tanggung-jawab, ya tuntaskanlah secepatnya. Barangkali anjuran orang-orang 'jamdul' ini ada benarnya. Karena, makin lama (atau makin 'umur'), kita akan makin paham pola kerja sebagian orang yang kerap menjalankan 'strategi' 3-D, alias delay, deny, and defense.


Cirinya biasanya begini, kalau 'ditagih' orang ini akan mencoba terus menunda dengan beragam alasan, "...aduhh jangan sekarang deh, gue lagi ribet," atau, "..oke, besok ya?" (tapi 'besok'nya dia itu setiap hari). Begitu kita konfrontasi, karena sudah enggak kuat menunggu, orang ini akan menjalankan 'd' yang kedua alias deny alias 'ngeles', misalnya, "...ya, amppunn gue udah inget tuh tadi, tapi tiba-tiba.." (fase ini kerap diikuti tahap 'menghilang', enggak jawab telepon, e-mail, dll). Nah, kalau 'd' yang ini sudah enggak mempan, keluarlah 'd' yang ketiga alias defense, contohnya, "....abis elo sih nagih-nagih melulu! Cara elo tuh enggak asik tahu enggak? Masak enggak percaya sama gue?" Asik kan? Kok, jadinya kita yang salah ya? Selesai kah masalah? Tentu tidak. Jangan heran kalau dalam perkara besar ada yang bisa menuntut para penganut paham 3-D ini sampai ke pengadilan! Serius.

Intinya, supaya enggak masuk grup 3-D, janganlah membuat hidup jadi lebih ribet. Sederhana kok, kalau punya tanggung-jawab-ya, kerjakan. Kalau enggak ngerti, tanya. Kalau salah, minta maaf. Salah kok gengsi? Hari gini getoo lhoo??


(BTW, istilah 3-D ini kerap digunakan jurnalis CNN favorit saya, Anderson Cooper, buat menggambarkan sejumlah narasumbernya yang jago berkelit.)












Sunday, April 01, 2007

Harga Tiket Turun Lho Jewnk!












Siapa tak senang harga tiket nonton bioskop turun cukup lumayan? Para pembuat film yang belum terlalu mapan seperti saya masih ikut senang lho, karena kalaupun ini berarti pendapat dari hasil penjualan tiket jadi semakin kecil tapi kita harus optimis kebijakan harga baru tiket ini bisa membuat penonton jadi semakin rajin ke bioskop. Di Indonesia, kalau mau hidup, harus optimis!

Nah, di penghujung Bulan Film Nasional kemarin (31 Maret 2007), entah kenapa saya pingin ngemil popcorn. Tentunya, sayapun beli di bioskop kawasan TIM karena kebetulan lagi ada di sana. Melewati ticket box selintas terbaca harga tiket yang berkisar antara Rp. 10 ribu hingga Rp. 15 ribuan. Sampai di kantin saya menunjuk satu gelas bening berisi popcorn manis, dan untuk itu saya harus merogoh kantong Rp. 10 ribu! Ampyuun, harga tiket nonton kok nyaris sama dengan harga popcorn ya? Pengelola bioskop dan pengelola kantin itu bukannya badan yang sama ya? Kok harga tiket turun, jagungnya enggak? Padahal, tanpa mengurangi rasa hormat, lebih susah bikin film lho-daripada bikin popcorn?

Urat protes saya nyaris kambuh saat itu juga! Tapi kemana protes ini harus saya ajukan? Maksudnya kalau mau protes tapi enggak dampak kan percuma? Apa harus ke DPR? Tapi di sana pasti ribet, nungguin mereka sidang, dst. Males. Enggak jadi. Ke BUDPAR? Tapi "skripnya" gimana coba? Masak saya harus bilang, "Pak, tahu enggak hasil kerja pembuat film di sini harganya sama dengan popcorn?" (O iya, bisa jadi derajat popcorn malah lebih tinggi lagi, karena enggak kena pajak tontonan!)Berarti harus audiensi lagi, cerita lagi urusan masalah film selama ini, padahal udah disampaikan terus lho dari tahun 2005, via temen-temen saya. Dan yang itu aja belum beres-beres. Capek ah. Males. Haruskah saya beralih profesi jadi pembuat popcorn? Tapi enggak ding, popcorn saya nantinya pasti bakal lebih mahal lagi, karena saya percaya betul dengan kerja kelompok dan kadung cinta dengan teman-teman seprofesi dan maunya ya mereka terlibat juga dong. Kalau teman-teman saya terlibat berarti harus tetap ada proses pra-produksi, paska produksi, dstnya. Untuk orang yang sebawel saya meng'casting' jagung yang pas aja bisa lama sekali. Jadi saya segera menepis ide alih profesi itu tadi. Intinya begini sajalah, di Indonesia, kalau mau hidup, harus punya rasa humor..