Ada sesuatu yang sering bikin kita terburu-buru, barangkali sesuatu itu bernama nafsu. Barangkali. Tapi untuk hal tertentu saya enggak akan pernah bisa mengerti soal ketergesaan yang kadang bisa menyesatkan orang. Barangkali karena kadung pasang target 'setoran', seringkali juga karena salah lihat. Kelihatannya sih begitu. Barangkali.
Contohnya begini, saya kerap ketemu adik-adik yang belum lagi lepas SMA dan mereka ingin bikin film atau menulis. Yang mau bikin film belum-belum sudah tanya bagaimana caranya ngedit, atau mengoperasikan kamera. Yang ingin menulis kerap tanya, gimana caranya ketemu penerbit? Atau mengirimkan naskah ke saya minta tolong dikasih komentar, atau diedit, atau minta diberikan kata pengantar karena sudah mau diterbitkan, padahal saya belum baca tulisan mereka sama sekali. Kalau urusannya menulis skenario, ada beberapa yang langsung mengajak co-writing.
Lupakan soal cara mengedit film, apalagi mengoperasikan kamera. Kalau tanya ke saya, ini masuk klasifikasi pertanyaan retoris, sederhananya karena saya gatek berat lah.Wong bikin link ke blog kawan-kawan saya aja baru paham dua atau tiga hari yang lalu kok? Tapi saya heran, alasan mau bikin film kok diawali dari editing dan kamera ya? Kenapa? Nah, kalau yang tanya alamat penerbit, atau minta kata pengantar, atau mengajak co-writing, ini dia yang kerap menimbulkan dilema. Karena, meski saya sangat senang kalau ada adik-adik yang berani bertanya dan sudah jelas maunya apa, saya enggak yakin kemauan menulis itu awalnya lahir dari dorongan pingin ketemu penerbit. Apanya yang mau diterbitkan? Kenapa harus terbit sekarang? Siapa yang harus baca? Juga saya bingung kalau diminta memberikan kata pengantar atau menyuntingkan naskah. Saya sendiri masih merasa harus terus berproses, dan selalu merasa kita ini kekurangan editor, job desc saya sebagai penulis pun termasuk urusan mengejar editor itu tadi (dan sumpah, jumlah mereka tidak banyak), dan kenapa naskah itu harus ada 'yang mengantar'? Memangnya harus berangkat dari mana? Mau kemana? Dan kenapa harus sekarang juga? Memangnya siapa yang diuber? Siapa yang mengejar?
Ajakan co-writing juga kerap mengherankan. Saya percaya betul kerja tim, termasuk soal penulisan. Tapi pemahaman co-writing itu sebetulnya begini, ada dua orang (bisa juga lebih, tapi jarang lebih dari dua), yang memulai proses ini di fase yang sama. Mulai dari pengembangan cerita hingga penulisan tahap akhir. Beban tanggung jawab di antara dua penulis (atau beberapa) ini jadinya harus setara. Mekanismenya bisa tergantung mereka. Yang ideal adalah bila tim penulis ini bisa senantiasa kerja bareng. Kalau ini yang dilakukan, asumsinya kontribusi anggota tim jadi imbang, dan menurut Writer's Guild of America, dua orang penulis yang kerja dengan cara ini akan ditulis namanya dengan tanda &, misalnya Bejo & Bandi. Kalau Bejo lebih banyak bekerja dari Bandi, katakan 60:40, maka aturan penulisannya adalah Bejo and Bandi. Kalau nama Bejo ditulis di baris pertama, dan Bandi di baris kedua, biasanya awalnya Bejo menulis sendirian, tapi karena satu dan lain hal produser menarik skrip itu dari Bejo dan meminta Bandi menulis ulang TANPA merubah cerita. Dan ini kerap terjadi di Hollywood sana, film seperti Gladiator sempat pindah tangan berulang-kali dari satu penulis ke yang lainnya. Kreditasi penulisan juga jelas betul bedanya, bila dibilang written by maka yang menulis cerita dan skenario adalah orang yang sama. Bila ditulis screenplay by, berarti si penulis hanya menulis skenarionya saja, cerita dibuat oleh orang lain. Kadang-kadang ada satu segmen atau karakter tertentu yang dialognya ditulis penulis lain. Quentin Tarantino dan David Mamet kadang melakukan ini untuk naskah orang lain, maka nama Tarantino atau Mamet hanya boleh dikreditasi di ending title.
Masalahnya, yang sering terjadi adalah, orang yang mengajak co-writing ini punya pemahaman berbeda soal co-writing. Dia menganggap proses ini akan mempermudah penulisan, kalau itu yang dicari, salah besar! Atau dia berpikir ini adalah cara 'magang' bagi penulis pemula, salah lagi! Atau dia pikir kalau sudah ada 'skrip' (saya letakkan di tanda kutip, karena belum tentu sudah jadi 'skrip'), dan dia kepentok maka solusinya adalah dengan cari orang lain untuk menulis tanpa merubah apa yang dia suka, dan ini SUPER SALAH.
Esensinya sebetulnya sederhana. Semua pekerjaan kreatif/seni itu awalnya dari proses. Kalau belum-belum mau cari jalan pintas, yang paling pas adalah narik ojek-karena profesi ini memang mengharuskan si 'pilot' pandai cari jalan pintas. Kalau inginnya terkenal, wah, lagi gampang banget lho Jewnk!! Silakan cari pacar di gedung MPR/DPR, alias jalinlah hubungan dengan wakil rakyat yang sudah beristri/suami, atau dengan tokoh masyarakat berinisial AA ini dan itu (preferably married), rekamlah beragam aktifitas asmara Anda dengan handphone berkamera, putuskan hubungan (begitu punya cukup stok foto/shots), dan buatlah konperensi pers. Catat juga alamat beragam KOMNAS, just in case, geto lho.
Kalau percaya jalan 'normal', apa boleh buat, berserah dirilah pada waktu, dan sutralah, jangan buru-buru nyari penerbit, produser, investor, distributor, atau apalah itu, tapi carilah..ilmu. Caranya? Kita semua tahu lah... Jalani, lihat, serap, tumpahkan, lalu mulai dari awal lagi. Rahasianya ada pada waktu, ketika saatnya datang, tanpa kita caripun yang dicari-cari itu datang sendiri, wong memang bukan buron kok dicari-cari? Apalagi kerjaan seperti ini akhirnya sangat tergantung pada komitmen pribadi, dan seperti pepatah lama bilang, akhirnya ini bukan soal seberapa cepat kita memulai tapi seberapa lama kita bisa bertahan. Jangan heran Ingmar Bergman baru berhenti bikin film di usia 86 tahun, Terrence Mallick film-filmnya bisa dihitung dengan jari (tapi semuanya dahsyat), Ellie Wiesel usianya sudah entah berapa (secara dia pernah merasakan masa pra-remaja di kamp konsentrasi), meski enggak kenal secara pribadi saya cukup yakin, mereka-mereka ini enggak ribet nyari penerbit, produser, atau investor dari jaman mereka sekolah dulu.
No comments:
Post a Comment