Monday, July 20, 2009

Kita, Remaja dan Ledakan Itu..




Dan Jumat pagi itu (17 Juli 2009), kami bersiap untuk kembali bekerja bareng sejumlah kawan remaja di Makassar. Hari itu hari kelima kami di sana. Tiba-tiba salah seorang rekan saya bilang, "Mana remote TV? Ada dua bom meledak di Jakarta.." Lalu, kami mencoba menyerap sejumlah informasi berbalur spekulasi yang disampaikan dengan gaya emcee oleh 'reporter' salah satu stasiun televisi Jakarta. Sesekali kami mencoba menghubungi beberapa kawan di Jakarta via HP. Khawatir soal keselamatan mereka yang ada di kawasan ledakan, juga mencoba mencari tahu karena nyaris frustrasi dengan minimnya informasi yang betul-betul punya nilai akurasi. Sejurus kemudian kami menyerah, bagaimanapun ada urusan yang harus dirampungkan hari itu. Lalu kami beranjak meninggalkan pesawat televisi menuju tempat workshop di mana selusin kawan remaja kami sudah menanti.

Dua kelompok dampingan kami sudah di tahap penyuntingan akhir kedua film pendek yang mereka buat sepanjang pelatihan. Kepala kami ada di sejumlah tempat. Bom itu kenapa terjadi lagi? Kenapa sekarang? Kenapa? Saya masih mencoba memonitor apa yang terjadi di Jakarta dengan bertukar kabar via yahoo messenger. Kawan saya yang membantu proses penyuntingan salah satu kelompok terdengar bertanya kepada sang sutradara, "Gambar yang ini maksud kamu mau disambung ke mana?" Jawaban sang sutradara, "Gambar itu maksudnya buat persediaan kak." "Oke, tapi nyambungnya kemana?" tanya kawan saya lagi. Nadanya kini lebih tinggi. Ledakan bom sial di Jakarta itu rupanya membuat kami lebih serius dari biasa."Apa semua gambar memang harus bisa nyambung kak?" tanya si sutradara lagi. Saya menahan tawa sambil menatap layar notebook, di kotak chatting kawan saya mengabarkan SBY akan berpidato. "Ya iyalah! Kalau engga bisa nyambung gimana filmnya bisa jadi?" jawab kawan saya, kini lebih tegas. "Oh gitu ya kak? Laillahaillalahh.... susah betul ini bikin film??" respon si sutradara itu sekarang. Saya dan kawan saya kini tidak bisa lagi menahan tawa.


Kalau tadi kami pusing soal bom, kini giliran kawan-kawan remaja itu yang pusing soal logika gambar film yang 'wajib bisa disambung satu dan lainnya', dan bahwa untuk bikin film sependek tiga menit mereka perlu syuting tiga hari, dan menyunting dua hari, dan bahkan sampai beberapa jam sebelum diputar, film mereka belum kelar. Soal bom di Jakarta itu? Mereka tampaknya tidak pusing benar. Cuman satu di antara kawan remaja itu yang tadi bertanya, "Rumah kakak bukan dekat-dekat Kuningan kan?" Saya menggeleng, ia pun tak bertanya lagi. Barangkali persoalannya bagi dia memang selesai, selama tidak ada korban yang ada hubungan langsung dengannya atau dengan kami, maka ledakan bom itu bukan masalah besar. Bagi 'mantan remaja' macam kami tentu cara pandang kami urusan bom itu lain lagi.



Tapi mungkin ada cara lain dalam mencari keterkaitan antara ledakan bom di ibu kota dan kawan-kawan remaja di Makassar atau di manapun saat itu. Bayangkan apa yang mereka bayangkan, dan kenapa mereka harus pusing urusan bom di Jakarta kalau ada urusan lain menghadang di depan mata kan? Sebut saja, film yang harus kelar sore itu juga, perguruan tinggi yang harus didaftar ulang (bagi lulusan SMA yang mampu tentunya), pekerjaan yang ternyata memberi kemewahan hidup mandiri di usia remaja biarpun masih saja ada yang perlu dicari-seperti akses untuk membuka akun Facebook misalnya, atau kawan yang jumlahnya ternyata kelar di batas wilayah tinggal dan karenanya harus dikejar hingga ke lain kota, atau hari-hari awal masuk sekolah yang bisa ditinggal karena kurang menarik dibanding belajar bikin film (meski cuma film pendek), atau perjuangan menaklukkan niat setengah hati untuk masuk ke jurusan IPA demi menyenangkan orang-tua, atau pacar yang kelihatannya sudah mulai malas menjawab SMS, dan mungkin ini baru sebagian dari urusan-urusan yang mungkin kecil di mata kita tapi sangat besar di mata remaja.



Urusan 'super besar' di mata remaja kerap bermuara pada kebutuhan mereka untuk selalu menjadi bagian dari kelompok yang lebih besar dan karenanya selalu ada energi dan niatan yang seakan tak henti untuk terus berlari meninggalkan satu titik menuju ke titik yang lain, yang sedemikian jauh dan tak terlihat oleh orang lain bahkan mungkin tidak juga oleh diri mereka sendiri. Mereka akan berlomba mencari kawan dan kerap kesulitan berkawan dengan sosok yang terpenting dan terdekat dengan mereka yaitu diri mereka sendiri. Mereka akan peka terhadap beragam suara yang bisa datang dari mana saja, tapi kerap mengabaikan suara yang terpenting dan terdekat dengan mereka yaitu suara mereka sendiri. Mereka akan cenderung lebih percaya pada apapun yang dikatakan orang mengenai mereka, tak penting apakah orang-orang itu mengenali mereka dengan baik atau tidak (meskipun motivasi orang-orang itu kerap untuk keuntungan pribadi), dan karenanya mereka kerap tidak mempercayai sosok yang seharusnya harus mereka yakini yaitu diri mereka sendiri. Mereka bisa menapaki jalan yang diambil orang lain dan tak kunjung menapaki jalan yang seharusnya membuka peluang yang lebih luas bagi kehidupan mereka, yaitu jalan yang mereka tentukan sendiri.



Bayangkan, berapa kali para remaja itu harus mengalami tiba di persimpangan dan dipaksa untuk menentukan pilihan? Itulah saat penting yang istilah kerennya kerap disebut sebagai 'defining moment', alias saat penentuan. Perkaranya, saat penentuan itu datang di waktu yang relatif berbeda bagi tiap orang. Dan tidak ada satupun mata pelajaran, buku pintar apalagi workshop yang bisa membantu memberikan jaminan keberhasilan bagi remaja yang sedang berhadapan dengan tekanan, agar bisa membuat keputusan yang tepat ketika saat penentuan itu datang. Dalam beberapa kasus, mungkin mereka bisa bertanya atau minta pendapat pada orang-orang yang mereka percaya (kalau mereka punya 'orang kepercayaan'). Namun sebenarnya, kerap kali mereka harus memutuskan banyak hal-sendirian. Dan di saat itulah barangkali mereka akan menimbang-nimbang, berdasarkan apa yang mereka lihat, apa yang mereka dengar, dan apa yang mereka ingat dari serangkaian interaksi dengan sejumlah orang yang pernah mereka jumpai sepanjang hidup mereka yang belia itu. Seringkali, mereka sendiri diam-diam sudah tahu apa yang harus mereka lakukan, tapi mungkin tidak selalu yakin untuk mengutarakannya dan karenanya perlu orang lain di sekitar mereka untuk dijadikan papan lontaran yang bisa memantulkan jawaban mereka ke diri mereka lagi dengan bertanya balik (bila yang bertanya masih ragu), atau mencoba memberikan opsi dengan meyakinkan bahwa selalu ada pilihan (bila yang bertanya tampak putus asa). Karena memang betul opsi itu selalu ada.


Apa sih yang sebetulnya dibutuhkan remaja dari para pensiunan remaja seperti kita? Menurut saya, membungkam suara remaja dan men-dubbing-nya dengan suara kita bukanlah hal yang bijak. Membuatkan keputusan untuk mereka juga tidak dianjurkan. Menjadi teman? Yang seperti apa dulu? Teman 'statistik' a la Facebook? Atau yang sok asik dengan terus membenar-benarkan? Rasanya juga bukan itu yang diperlukan. Saya ingat sejumlah kawan remaja di sekolah-sekolah non unggulan yang justru merindukan adanya struktur dan disiplin hingga taraf yang masuk akal ditegakkan di sekolah mereka. Jadi apa? Mungkin ini uniknya, meski saat ini ada sekitar 40-an juta penduduk usia remaja di negeri ini, dan seluruh struktur kenegaraan, pendidikan serta bidang-bidang 'penting' seluruhnya diatur oleh pensiunan remaja, kita sebetulnya tahu terlalu sedikit soal remaja. Karenanya, mungkin sebetulnya kita yang perlu mereka untuk jadi maha guru yang mau mengajari soal dunia mereka. Mereka sendiri mungkin perlu 'murid' usia 'lanjut' yang lebih rendah hati dan lebih mampu minta maaf karena selama ini kelewat berani mengambil atau membuat beragam keputusan atas nama remaja tanpa tahu konteksnya, juga lebih mau pasang kuping, lebih tulus tutup mulut kala remaja harus bicara .


Balik lagi ke soal dua bom di Jakarta baru-baru ini. Hubungannya dengan remaja? Silakan berandai-andai, apa yang terjadi saat para pelaku masih remaja? Berapa banyak masalah 'super besar' kala mereka remaja yang tak terselesaikan? Berapa banyak 'pensiunan remaja' kala mereka remaja yang pernah bilang bahwa opsi yang pro pada kehidupan itu selalu ada? Dan berapa sering mereka didengar kala mereka remaja? Mungkin, kalau kita sepakat untuk mulai berguru pada remaja, mudah-mudahan kelak tak perlu lagi ada ledakan. Di manapun itu...

Kedua film pendek karya kawan-kawan remaja Makassar kelar tepat waktu. Sutradara yang tadi siang istighfar sore itu bilang, "Setelah tahu susahnya bikin film, kita jadi lebih bisa menghargai orang yang kerjanya bikin film."

Kalau tadi saya ketawa-ketawa, tenang aja. Di umuran para remaja Makassar itu saya enggak lebih pintar daripada mereka baik soal bikin film, juga soal-soal lain.





Sunday, July 19, 2009

Daur Ulang A La Cakar Makassar




Kalau faktor 'kecepatan' lalu melahirkan kata 'tren' dan karenanya kita percaya segala hal haruslah yang terbaru, bagi yang sudah lelah didikte masih ada pilihan lain. Bertolak belakang dengan yang serba baru dan dijual di mal, masih ada yang serba lama, penuh nostalgia, dan harus diaduk-aduk, dicari-cari, dicakar-cakar di tempat-tempat non-AC. Di Yogyakarta ada sejumlah 'awul-awul', alias tempat penjualan busana bekas (terkadang juga ada sepatu, topi, dan beragam asesoris terkait. Pakaian dalam? Duh, apa iya mau yang bekas juga? He3).


Kawan saya bahkan sukses menemukan 'awul-awul' versi Indonesia Timur di Wanci sana. Dan saya sendiri sempat bertandang diantar para penggemar 'awul-awul' versi Makassar (di sana disebut 'cakar'-tapi percayalah kondisi barang yang dijual dan kelakuan penjual/pembelinya tidaklah seganas itu hingga perlu saling cakar-cakaran). Nah, salah satu lokasi cakar andalan penggemar busana 'vintage' Makassar ada di Pasar Terong. Selain letaknya di atas gedung sebuah pasar tradisional, dan menempati hampir seluruh lantai tiga gedung itu, ada yang mungkin tidak bisa ditemui di 'awul-awul' Yogya: pakaian tradisonal Korea! Konon para pembeli kostum Korea menggunakan bahan dasar pakaian ini (terbuat dari semacam chiffon atau organza) untuk disulap menjadi pakaian tradisional/busana resmi sesuai selera dan tentunya gaya masing-masing. Dahsyat! Bahkan pakaian tradisional negara lain pun bisa didaur ulang.


Sunday, December 28, 2008

(Boleh dong) Saya Juga Punya Daftar Ter-08!


Buat media sekaliber Time atau Newsweek, siapa yang jadi pilihan mereka untuk masuk daftar 'ter', biasanya selalu menarik buat pembaca di seluruh dunia. Tapi, bukan cuma dua media itu lho yang punya hak merilis daftar 'ter', nyaris semua media juga punya. Dan kita kerap jadi bingung, apa sih pertimbangannya? Kenapa sosok si A harus dianggap terpenting tahun ini sementara sosok B tidak?


Nah, tahun ini saya putuskan buat bikin daftar sendiri. Kategorinya? Wah, jelas pertimbangan pribadi lah! Dan saya yakin sah-sah aja tuh. Kalau pembaca juga terpikir mau buat daftar juga, silakan lho (di blog masing-masing tentunya).

Dan Yang Terbaik di 2008, menurut saya:

1. Sutradara: 10 sutradara "9808" (Ariani Darmawan, Anggun Priambodo, Edwin, Hafiz, Ifa Isfansyah, Lucky Kuswandi, Otty Widasari, Ucu Agustin, Steve Pillar Setiabudi, Wisnu Kucing Suryapratama). Sampai detik ini saya masih bingung, kok ada ya sutradara yang mau kerja gratisan? Jumlahnya pun enggak hanya satu atau dua, tapi sepuluh! Dan mereka ini kerja pol-pol-an. Nyaris setahun saya berurusan dengan mereka, dan cuma dengan memperhatikan ke-10 orang ini bekerja, saya sungguh belajar banyak. Spielberg barangkali lebih mendunia, tapi saya enggak kenal beliau secara pribadi. Belum tentu juga kalau saya kerja dengan Spielberg bisa lebih seru daripada dengan 10 orang ini, he3.
2. Karakter fiksi: Sugiharti Halim. Belum pernah saya lihat ada karakter sesinting perempuan ini. Kompleksitas karakter Sugiharti Halim yang dilahirkan Ariani Darmawan dan gang Kineruku, komplit sudah dengan kapasitas Sugiharti untuk menggerundel dengan konsisten sepanjang film. Sepanjang film itu kita bakal tertawa. Bukan menertawakan Sugiharti, tapi diri kita sendiri.

3. Album: Kamar Gelap, Efek Rumah Kaca. Entah kenapa, sempat ada gejala aneh: mereka yang main musik tiba-tiba lupa Bahasa Indonesia! Gawat! Untung belakangan muncul Efek Rumah Kaca. Keistimewaan mereka? Beli kalee albumnya, he3

4. Buku: Malaysian Essays Volume 1, Matahari Books, Amir Muhamad, editor.

5. Film: The Edge of Heaven, Fatih Akin. Tahun rilis film ini 2007, tapi saya baru nonton Desember 2008 di Jiffest.

6. Argumen: "Ibaratnya, saya shalat 5 waktu Neng, tapi masih sering lupa sama yang di Atas." Alasan Pak supir taksi waktu saya protes, "Katanya Bapak hafal daerah Tebet?"

7. Blog: Nguping Jakarta. Ringan, berisi, dan layak dimampiri. Dan serunya lagi, yang terlibat di sini bukanlah orang-orang banci tampil.

8. Komentar: "Selama ini saya enggak sadar sudah mempraktikkan diskriminasi," salah seorang penonton dan peserta diskusi 9808 di Paramadina.

9. Tempat liburan: Belitong!

10. Karya seni: Bagai Musang Berbulu Tangkis, Bambang Toko. Berapa sering kita bisa ketawa di Galeri Nasional?

11.Teman/kenalan/tetangga/anggota keluarga/dll: ___________ Silakan tuliskan nama di sini. Siapapun pasti saya setujui, karena pasti betul-dengan cara masing-masing setiap orang yang pernah ketemu atau berurusan dengan saya, pasti punya jasa. Terima kasih.

Selamat liburan.








Friday, November 14, 2008

Shh..Ada Bahasa Yang Sedang Mati Dibunuh*)




Dari negeri jiran, ada sekumpulan esai yang konon penerbitannya diilhami saat sang editor melanglangbuana dan sempat tinggal di Indonesia. New Malaysian Essays 1 terbitan Matahari Books itu terdiri dari enam esai yang cukup bertenaga untuk membuat kita berpikir. Simak kutipan yang berikut ini misalnya:
Dilaporkan, setiap dua minggu satu bahasa akan luput serta merta dari muka bumi. Kaput macam itu sahaja. Dibunuh oleh orang-orang yang sepatutnya menjaganya, dimusnahkan oleh parasit yang hanya mahu mendapatkan keuntungan daripadanya..(Saharil Hasrin Sanin, Teroris Bahasa, h. 132).

Apa maunya cik Saharil? Dengan berani ia berkata di tulisan itu, "..saya mahu Bahasa Inggeris dikuasai tetapi tidak mahu ia diutamakan. Saya mahu bahasa ibunda digunakan untuk mendidik, dijadikan bahasa ilmu dan pengetahuan. Karena Allah SWT pun ada memfirmankan, bahawa, untuk mendidik dan membangunkan sesebuah masyarakat, perlulah dilakukan dalam bahasa ibundanya sendiri, seperti tercatat dalam surah Ibrahim ayat ke-4, mafhumnya:"Kami tidak mengutuskan seorang Rasul, melainkan dengan bahasa kaumnya, supaya ia menerangkan kepada mereka." (h.177).

Kalau lima esai lainnya di dalam buku itu ditulis dalam Bahasa Inggris, maka Teroris Bahasa ditulis di dalam Bahasa Melayu, kenapa? Antara lain karena sang editor angkat tangan, esai itu tidak bisa diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris. Itu dahsyatnya.

Dahsyatnya lagi, Teroris Bahasa seolah menampar-nampari pembacanya yang mungkin fasih mensosokkan 'teroris' sebagai jaringan atau manusia dengan sejumlah karakter dan atribut tertentu, tapi justru lupa sama sekali soal potensi teror terhadap hal-hal yang lebih esensial, seperti teror terhadap bahasa itu tadi-padahal, pelakunya kemungkinan jauh lebih banyak, termasuk kita sendiri...
(Judul tulisan ini diambil juga dari esai Teroris Bahasa oleh Saharil Hasrin Sanin dari buku New Malaysian Essays 1, penyunting Amir Muhamad, penerbit Matahari Books, 2008, ISBN: 978-983-43596-1-4).






Saturday, November 01, 2008

Parsial/Porno/Parno-(Tentang) Manajemen Kapok




Kita punya 'hobi' (atau 'penyakit'?) yang belum kunjung sembuh: melihat banyak hal secara serba sebagian. Alias parsial. Pembenaran yang paling gampang adalah dengan menganggap semua urusan sebagai 'tren'. Dengan cara ini, sebelum sesuatu jadi 'isu nasional' yang kadung telat dibenahi, kita ogah membicarakan hal tersebut-apapun itu.


Jauh sebelum UU Anti Pornografi disahkan, sudah ada sekelompok massa yang mulai mencoba membuka dialog soal ini. Sayangnya, mereka kurang ditanggapi. Kenapa? Barangkali karena waktu itu belum 'tren'. Seperti konsep omong kosong 'gaya hidup', urusan 'tren' ini kadung mengambil alih cara berpikir sebagian besar dari kita. Belum nge-tren? Lewat tren? Buat apa diomongin? Masalahnya, begitu RUU sudah menjelma menjadi UU, kita bicara hukum. Jadi aneh kalau baru sekarang ini semua orang meneriakkan protes. Pernah ada hukum berubah cuman karena takut ditereakin? Kayaknya belum tuh.. Jadi kita bisa apa? Satu kata: BELAJAR.


Belajar mengakui dan menggunakan hak politik,
Pemilu? Voting lah...
Ah, males, enggak paham program partainya,
Enggak kenal caleg nya,
Ya TUNTUT maunya yang seperti apa,
Programnya yang bagaimana?


Belajar paham yang terjadi di luar arus tren mode/fashion,
Hobi ngomong campur aduk Indonesia/Inggris?
Ini barangkali salah satu pertanda
kita memang maunya tidak punya hak politik..
Karena tidak ada yang menginstruksi kok
menanggalkan identitas secara suka rela...

Belajar mau tahu,
Cuek tidak juntrung bukan jamannya.
Teriak belakangan itu basi.
Urusan perbaikan bangsa dan negara
bukan cuman urusan penguasa versus
segelintir massa yang perduli.


Di luar sana orang sudah mulai bicara soal
hak akan informasi,
Tren? Enggak usah tren-trenan lah sekali ini,
Buat apa senantiasa trendi kalau
diam-diam jadi pelanggar hak azasi?
Gimana enggak kalau hak-nya sendiri tidak dipahami?
Dan karenanya terus-terusan dimanipulasi?
Diatas namakan sebagai 'demi kepentingan massa'..
Dibuatkan keputusan oleh segelintir orang yang tidak
kompeten sama sekali..
Dan mereka ini kita yang gaji.
Kapok?
Belajar melihat dari semua sisi dan dimensi,
Sebelum asal bunyi,
Dan lagi-lagi telat lagi.
Belajar manajemen kapok..










Sunday, September 07, 2008

on a witness protection. don't bother following!

Friday, September 05, 2008

Blog Baru

ngupingjakarta.blogspot.com