Thursday, April 12, 2007

FAQ Jelang 21 April










"Jadi, apa pendapat kamu soal maraknya perempuan yang jadi (pilih salah satu: penulis/pembuat film/astronot/pembalap, dll) akhir-akhir ini?" Biasanya, kalau sedang buru-buru, 'bocoran' buat menjawab pertanyaan macam ini adalah: "Menurut saya positif!" Tapi kalau lagi 'kambuh', seperti saya beberapa hari yang lalu, sayapun menjawab, "Maksudnya 'marak'? Memangnya ada datanya?" Yang bertanya mengangkat alis, mengira saya bercanda. Saya tersenyum lebar, dia mengulang pertanyaannya, kali ini ditambah kata 'fenomena'. "Itulah mas, menurut saya, kalau mau bilang 'fenomena'-berarti harus ada data. Dua ratus? Tiga ratus? Berapa?" Saya belagak tenang. Ingin melihat reaksinya. Reporter itu berdehem, lalu tanya lagi, "Ya..sekarang kan banyak nih Prim, (pilih salah satu: penulis/penulis skenario/pembuat film/astronot/apalah) perempuan. Pendapat kamu gimana? Sebagai penulis perempuan juga?" Sekali ini dia akurat! Saya memang perempuan! Jawaban saya, "Justru saya pingin tanya, kalau menurut mas dan teman-teman reporter yang laki gimana?" Orang itu melihat saya, lalu tertawa. Saya ikut ketawa juga deh, daripada nganggur?

Menjawab pertanyaan begini memang bingung lho. Serius. Perkaranya simpel banget buat saya dan buat banyak sekali teman-teman seprofesi yang kebetulan perempuan juga, kita mah kerja ya kerja aja kan? Udah kita yang kerja, eh, ujung-ujungnya kok ya ditanyain pendapat bekerja sebagai perempuan kayak apa? Masih bagus enggak gue ceritain kerja pas PMS! Emangnya enak??

Tapi itulah realita perempuan dan media, dari dulu sampai sekarang masih sama. Pertanyaan wajib buat perempuan bekerja yang berumah-tangga, "Bagaimana cara Anda membagi waktu?" Pernah enggak pertanyaan ini diajukan ke narasumber laki-laki? Kalau mau adil, sekarang lho waktunya kita tanya ke tokoh massa yang berpoligami, "Bagaimana cara AA membagi waktu?" Adil dong? Katanya emansipasi? Atau pertanyaan bete seperti, "Pendapat kamu tentang 'sastra wangi'?" Coba saya perjelas, dengan keyakinan dan rasa hormat pada para perempuan yang bersusah payah menulis, saya tahu betul enggak pernah ada tuh yang mulai menulis dan menjuluki diri mereka sendiri sebagai 'sastra wangi'. Itu bedanya jadi penulis dengan bikin grup band tau? Lagian yang ngasih label 'sastra wangi' itu kok enggak mikir ya? Selain istilah itu 'useless', kalau saya jadi penulis laki saya pasti demo! Tersinggung! Emangnya dengan kata lain penulis laki masuk ke dalam kategori 'sastra bau'? Makanya jangan ribet di istilah!

Demi Kartini, kalau percaya emansipasi, jangan mau dikasih label, penulis/pekerja film/astronot/pembalap atau apapun 'perempuan'. Terlahirlah sebagai perempuan, lalu berusaha sebisanya jadi manusia yang utuh, dan sukur-sukur jadi pekerja sesuai panggilan hati. Titik. Itu yang dunia perlu, dan itu yang Kartini mau. Ya enggak sih? Satu hal yang sebetulnya sudah menguntungkan kita, Bahasa Indonesia tak kenal jender!

No comments: