Thursday, November 16, 2006

Relasi Spaghetti dan Nyawa Manusia




Kalau kebanyakan orang menyantap makanan Itali agar kenyang atau demi gengsi, maka dua ilmuwan muda bertampang nerdy, Basile Audoly dan Sebastian Neukirch dari University of Paris 6 justru terobsesi pada spaghetti mentah. Dua orang ini memperhatikan, dalam keadaan mentah, lempengan spaghetti tak bisa dipatah jadi dua tanpa terpecah menjadi beberapa fragmen. Kalau mereka curhat ke orang-orang seperti kita, paling-paling mereka diganjar komentar, "Penting banget ga sih? Patah dua kek, dua puluh kek?" Untungnya dua ahli fisika ini terus saja 'belagak gila' dan melanjutkan penelitian mereka itu.

Hasilnya dahsyat! Audoly dan Neukirch bisa membuktikan bahwa tiap kali lempengan spaghetti mentah hendak dipatahkan dengan cara melengkungkan lempengan itu, akan ada gelombang elastis yang mengalir cepat dari tekanan yang jadi penentu patahnya lempengan, ke arah yang tak jauh dari titik patah, sehingga akan ada pecahan lain dalam bentuk fragmen. Dua orang ini bahkan menciptakan rumus, yang enggak perlulah dicantumkan di blog ini, karena rumus fisika macam itu lebih tepat jadi santapan ilmuwan (dan karena saya sendiri juga gatek berat). Secara awam, yang perlu kita ketahui hanyalah, penghitungan dengan rumus spaghetti ini bisa digunakan untuk menentukan standar keamanan bagi pembuatan bentuk-bentuk melengkung.

Kali berikut Anda melihat atau berada di dalam konstruksi dengan bentuk melengkung, ingatlah pada kontribusi spaghetti dan dua orang nerdy yang memastikan kita aman ada di sana. Siapa yang pernah mengira urusan peningkatan jaminan keselamatan nyawa manusia bisa diawali dari hal 'sepele' seperti pasta Itali berkat kejelian dua orang yang tidak trendy?

Wednesday, November 15, 2006

Para Perempuan Yang Hilang Di Balik Para Raksasa..




Sebelum ada kampanye Malaysia Truly Asia dan Michelle Yeoh, ada tokoh bernama Hang Li Poh. Konon dia adalah seorang putri dari kerajaan Cina yang dihadiahkan kepada Malaka. Misinya tak lain untuk perdamaian, hubungan bilateral, dan kelancaran arus perdagangan kedua negara. Katanya sih, Hang Li Poh tiba di Malaka sekitar tahun 1462. Tapi ini pun masih kerap disangsikan, karena tak ada catatan sejarah yang menyebut dengan pasti soal Hang Li Poh. Bisa jadi, buat sebagian orang dia memang tak pernah benar-benar ada.. Meski, soal pengiriman seorang putri raja kepada raja lain pada zaman dulu adalah lumrah. Bayangkan, sebetulnya pernah ada berapa banyak 'Hang Li Poh' di dunia ini?

Di Trowulan, Mojokerto, ada makam Putri Champa. Menurut cerita rakyat, Putri Champa adalah salah satu isteri Majapahit. Kalau menengok Candi Pari, akan terlihat pula pengaruh Champa (dulunya sebuah kerajaan di kawasan Indo China, sekarang Kamboja). Sayangnya, lagi-lagi, soal Putri Champa sendiri kita tak tahu banyak, meski namanya tak asing.

Kalau mau menilik sejarah Wali Songo, kita akan menemukan beberapa nama perempuan seperti Nyai Subang Larang yang menikah dengan Raden Manahrasa dari dinasti Siliwangi yang lalu menjadi raja dengan gelar Sri Baduga Maharaja. Nyai Subang Larang terkenal karena?..kehalusan budi dan kecantikannya. Titik. Ya begini inilah pembaca, penulisan soal perempuan di masa lalu baru terbatas pada penggambaran yang sangat umum dan bisa diterapkan ke siapa saja, baik pada tokoh fiksi maupun nyata. Lalu ada lagi nama Nyai Rara Santang yang menikah dengan Syarif Abdullah dan melahirkan Sunan Gunung Jati. 'Lumayan' nama dua perempuan ini masih tercatat, karena ada juga di bagian lain teks yang menuliskan begini, "..Raden Muhammad Yunus kemudian menikahi salah seorang Putri Majapahit yang melahirkan Raden Abdul Qadir dan kemudian hari menjadi menantu Raden Patah.." Lha? Nama 'salah satu' Putri Majapahit ini siapa? Ini putrinya yang nomor berapa? Memangnya Majapahit punya putri berapa? Rupanya notulen sejarah di masa itu merasa tak perlu benar mencantumkan keterangan yang lebih rinci.

Hari ini, kita cuman bisa mengira-ngira, berapa banyak perempuan yang pernah ada di balik nama-nama besar yang kita kenal dari buku sejarah, film atau bahkan nama-nama jalan protokol? Bayangkan, pernah ada satu masa di mana para perempuan betul-betul tak punya 'suara', bahkan kalau toh sudah lahir sebagai putri raja. Perempuan-perempuan ini ditumpahi misi besar atas nama perdamaian antar negara. Bukan dengan cara bilang, "..world peace" di kontes miss ini dan itu, tapi tak tanggung-tanggung, ditugaskan menikah dengan sejumlah lelaki berkuasa yang dianggap sebagai penentu perdamaian dan pusat kekuasaan di masa itu. Soal cinta? Wah, enggak ada kayaknya-wong urusan negara kok? Itupun tak membuat para perempuan ini bisa tampil di halaman sosialita. Kalau tak cocok dalam perkawinan mereka, para perempuan ini juga tak bisa menyewa pengacara sambil curhat di acara infotainment. Mereka betul-betul hanya jadi pelakon sejarah dan mengentaskan sejumlah laki-laki di sekitar mereka, entah itu ayah, suami, putra, barangkali juga cucu sampai cicit pria mereka menjadi para tokoh yang dicatat oleh sejarah. Mereka sendiri seakan tak pernah ada.

Dan kita, para perempuan sekarang, termasuk saya dan sebagian dari Anda, langsung atau tidak- adalah hasil perjuangan para perempuan yang berperan dalam diam selama bergenerasi-generasi itu. Bayangkan.

Monday, November 06, 2006

Sepertiga Lingkar Bumi




Dia tidak memenuhi persyaratan untuk bertanding di Olympiade. Tapi, kini kita harus tahu, cuman dialah yang sanggup berenang dari Australia sampai ke kawasan California, Amerika Serikat (sama dengan sepertiga lingkar bumi), tanpa alat bantu, masker oksigen, atau paspor dan visa (apalagi bayar fiskal sejuta..). Namanya? Kura-Kura!

Nah, ada juga yang bisa berenang sama jauhnya dengan jarak tempuh London-New York, sebelum akhirnya sampai di atas piring kita: ikan Salmon. Sementara, yang mampu terbang dengan kecepatan 200 ribu mili ternyata bukan hanya pesawat canggih-tapi burung Albatros. Apakah Albatros jenis burung yang paling jago terbang jarak jauh? Ternyata bukan, juaranya adalah: burung Walet!

Dari mana data di atas diperoleh? Yang jelas bukan hasil tebak-tebakan atau sekedar mengira-ngira. Para ilmuwan gelo pecinta alam kini bisa merekatkan semacam satelit kecil di bagian tubuh spesies yang mereka teliti guna memantau dan mengungkap kedahsyatan sejumlah mahluk yang mungkin selama ini justru jadi simbol kemalasan atau perilaku serba lamban seperti si Kura-Kura. Atau, yang selama ini kita kenal semata-mata sebagai bagian dari menu yang gaya-seperti ikan Salmon. Bisa juga yang selama ini tak pernah kita perdulikan betul apa perannya di muka bumi ini, seperti burung Walet.

Anda bisa saja gatek seperti saya, atau tidak perduli sama sekali, atau tidak religius, atau punya sikap lain. Tapi, hasil penemuan seperti di atas barangkali bisa punya sentuhan spiritual yang cukup nyenggol : tiap mahluk hidup yang ada di sekitar kita mungkin saja punya kekuatan yang jauh lebih besar daripada apa yang selama ini kita kira. Dan barangkali sejumlah penemuan ini adalah bentuk teguran lain dari sang Pencipta yang seolah mengingatkan bahwa jaman sekarang sudah bukan saatnya sekedar menduga-duga (apalagi menyimpulkan tanpa data, menuding, mengkotak-kotakan, meremehkan, menghujat, dst)..Lagipula, kita toh sudah dikaruniaiNya dengan paket 2 N (nalar dan nurani)? Silakan lho diaktifkan dua-duanya..



Sunday, November 05, 2006

Scorsese vs. Brooks











Hikmahnya kita 'kerja paksa' di rumah sendiri akibat libur lebaran sebetulnya ada juga. Inilah waktu terbaik buat orang jarang nonton televisi seperti saya, untuk sesaat jadi 'pengamat media massa', dan membuktikan ternyata masih ada juga lho liputan TV yang oke punya!

Di satu malam, Martin Scorsese duduk berhadapan dengan Tom Brooks (pemandu acara BBC, Talking Movies). Topik percakapan mereka adalah film terbaru Scorsese, "The Departed". Kebanyakan dari Anda barangkali sudah nonton film ini, tapi yang menarik buat saya bukanlah isi percakapan soal film itu tapi kepiawaian Scorsese menangani pertanyaan yang berpotensi 'menganggu stabilitas dan kredibilitas' beliau selaku salah satu sutradara terbaik dunia saat ini. Tom Brooks tiba-tiba minta konfirmasi soal apa betul Scorsese pernah ribut berat dengan Harvey Weinstein? Kamera terus menyorot wajah Scorsese yang tampak sungkan menjawab. Brooks lalu melakukan 'probing', "I heard that amidst the height of your argument with Mr. Weinstein, you even tossed the phone out of your office's window. Is that true?" Dan jawaban Scorsese adalah, "Well, you know Tom? The thing with phones is..they're ring! Isn't it annoying? So, yeah, I do HATE phones.." Giliran Tom Brooks yang tampak agak kaget, sebelum akhirnya ikut tertawa. Scorsese: 1, Brooks: 0.

Pekerja film pemula seperti saya jadi ikut belajar, hanya dengan melihat 'insiden' kecil seperti wawancara Scorsese-Brooks malam itu: ternyata perbedaan antara jawara sekelas Marty dan para wannabes memang besar sekali. 'Legenda hidup' sekelas Scorsese sudah jago 'main cantik' dengan (di antaranya) menghindar dari publikasi murahan yang bisa merugikan karirnya sekaligus menjadikannya 'turun kelas'. Sementara para wannabes seringkali tergelincir karena terpancing untuk bicara yang tidak perlu di mana-mana, bahkan di media massa...

Friday, November 03, 2006

Sewell vs. Quest




Brian Sewell adalah ahli sejarah dan kritikus seni asal Inggris. Sewell punya reputasi 'mengerikan' karena keberaniannya berpendapat. Tapi CNN rupanya masih nekat menjadikannya narasumber di segmen acara "Quest" yang dipandu John Quest.

Quest pun menyambangi Sewell di National Gallery, London. Kepada Sewell, Quest mengaku sebagai orang awam yang tak paham bagaimana membedakan mahakarya dari karya-karya seni 'biasa'. Sewell menggiring Quest ke depan salah satu lukisan Caravaggio, "The Supper at Emmaus" (1602). Lukisan itu menggambarkan kehadiran Yesus, setelah kebangkitannya, di tengah-tengah sebuah jamuan makan malam. Yesus duduk di ujung meja, sementara yang lainnya duduk berseberangan di kedua sisi meja. Sewell meminta Quest mencari titik tempat berdiri yang paling pas untuk bisa melihat lukisan itu secara utuh. Quest pun berdiri di sudut kanan lukisan itu, seolah tepat di 'seberang' Yesus. "Kenapa pilih di situ?" tanya Sewell. "Karena dari sini saya merasa seolah-olah 'hadir' di perjamuan itu," jawab Quest. "Persis! Most masterpieces work in that fashion. They invite you in.." jelas Sewell.

Wow! Saya salut dengan cara penjelasannya yang begitu efektif dan bisa dipahami oleh siapapun. Di sesi wawancara Quest bertanya, "Jadi sebetulnya apa sih tugas kritikus seni seperti Anda?" Jawaban Sewell, "Mengajak orang untuk 'mengalami', supaya mereka bisa punya pendapat sendiri dan karenanya 'terlibat' di dalam hasil kerja seni/kreatif. Sialnya, banyak kritikus yang mengira tugas mereka adalah sebagai 'penjagal' yang kerjanya cuman membantai hasil kerja seni, sambil memamerkan pengetahuan pribadi." Waduh, pikir saya.

Ketajaman 'bacot' Sewell belum berhenti di sini, pertanyaan Quest yang berikutnya adalah, "Anda selalu punya pendapat yang keras soal 'modern arts', kenapa?" Sewell menjawab, "Karena kebanyakan 'karya' 'modern arts', tidak jelas dibuat untuk siapa dan dengan dasar pemikiran apa. Para seniman 'modern' ini juga kerap enggak bisa menjelaskan pekerjaan mereka sendiri dengan 'genah', tapi justru berkilah di balik istilah-istilah besar yang abstrak seperti 'sarana kebebasan ekspresi diri'lah, karya 'personal' lah, dan all that crap.." Ampyuun.. Tapi Quest masih bertanya lagi, "Tapi, kan orang-orang seperti Anda selalu mengkritik mereka dengan tajam. Kalau memang tidak didengarkan juga, menurut Anda, mereka selama ini bekerja untuk siapa?" "Itulah!" sambar Sewell, "Orang-orang ini tidak merasa perlu mendengarkan siapa-siapa, kecuali, teman-teman mereka sendiri. Ini yang bikin bete, karena orang-orang seperti ini ngakunya seniman, tapi tidak perduli karya, juga tidak pernah menganggap dirinya sebagai bagian dari masyarakat yang lebih luas. Ujung-ujungnya sok nyeni, tapi jadi elitist juga, karena ingin diakui sebagai 'the lucky few' yang punya talenta.." Pertanyaan terakhir Quest adalah, "..dengan sikap Anda yang begini, apakah Anda punya teman?" Jawaban Sewell, "Kewajiban saya bukan cari teman.." Segmen itu selesai.

Buat saya esensi isi 'bacot' Sewell rasanya seperti double espresso tanpa gula racikan Supri van Tornado, 'tajam', 'nendang', dan bikin mata 'melek'. Mengaku sajalah, berapa sering kita-kita ini (baca: para pekerja kreatif, saya belum berani bilang pekerja 'seni'-masih jauh), mengerjakan sesuatu dan terbuai puja-puji teman-teman sendiri? Padahal, memang betul, semua pekerjaan kreatif/seni itu kan ujung-ujungnya ya harus dilempar ke masyarakat luas? Dari sudut pandang yang lain, barangkali sering juga pekerjaan kita jadi santapan para 'kritisi' yang merasa lebih paham menilai pekerjaan orang lain dan karenanya berhak 'membantai' pekerjaan yang dikritiknya sekaligus para pekerja yang terlibat di balik karya itu, seolah-olah dunia jadi lebih baik kalau ada pekerja kreatif/seni yang mengundurkan diri karena masa depannya sudah 'ditumpas' oleh 'kritisi'. Atau yang lebih parah lagi, karena pekerjaan kreatif/seni itu memberi ruang bagi kita untuk memanjakan ego, sejujurnya barangkali kita kerap lupa, pekerjaan kita itu sebetulnya buat siapa? Dan, kalau 'terjerumus' jadi elitist, berarti kita sebetulnya ada dalam proses 'membunuh' pekerjaan kita sendiri. Atau kalau kita kadung merasa sudah mapan atau 'ahli' padahal baru menghasilkan beberapa pekerjaan, itu berarti kita merasa sudah boleh berhenti 'mencari'-padahal perjalanan kita masih panjang.

Mungkin 'pelajaran moral' dari Sewell adalah, enggak ada salahnya kita sering-sering bertanya pada diri sendiri, "..kita ini lagi ngerjain apa sih? Untuk siapa?" Karena kalau kita sendiri sudah gelagapan enggak bisa jawab, gimana mau berharap orang lain bakal paham ya?