Saturday, September 30, 2006

Kalau Sedang Bingung Di Rantau..




Sejumlah pengagas berdirinya negara kita justru tadinya bersekolah di 'kandang macan'. Para pemikir besar itu di zamannya mengecap pendidikan Belanda, tapi hasilnya ketika pelajaran mereka usai, lahirlah bangsa dan bahasa Indonesia. Dan kalau kita ada di sini sampai hari ini, awalnya karena ada sekelompok pemikir yang cukup 'gila' untuk meyakinkan sejumlah besar orang bahwa kita ditakdirkan untuk bernegara, dan berbahasa sama. Modalnya? Gagasan. Jangan heran kalau banyak yang menganggap di era 50'an, bangsa kita justru lebih progresif dari saat ini. Mungkin pemikir bangsa itu datang terlalu cepat, atau kita yang lahir terlalu terlambat. Entahlah..

Hari ini, konsep bersekolah di luar negeri bukanlah hal yang aneh buat masyarakat kita. Tapi yang sebetulnya 'aneh' justru hasil akhirnya. Misalnya, yang tinggal di kota besar dan merasa 'gaul' serta 'berpendidikan' biasanya hobi berbahasa 'acak-aduk' (Indonesia bukan, Inggris apalagi). Sementara, kalau sedang di luar negeri justru sibuk berkumpul dengan teman sekampungnya. Ini dibuktikan sendiri melalui kerja kreatif yang dibuat mereka, misalnya film. Dengan lokasi asli luar negeri, semua pemain termasuk extras tak jarang adalah bangsa sendiri. Atau ada yang 'sekalian' mengcasting pemain 'orang sono' dengan keterampilan tehnis pembuatan film yang sangat memadai. Satu yang terlupa, konteks. Maksudnya begini, kalau semua pemain adalah 'orang awak', dengan konflik yang tipis (kalau ada) dan tak ada persentuhan/benturan dengan keadaan setempat buat apa jauh-jauh syuting di negeri jiran? Atau kalau seluruh pemain dan crew kebetulan 'orang sono', kira-kira apa yang bisa ditawarkan buat penonton di negeri sendiri?

'Terlempar' ke negeri asing membuka peluang bagi seseorang untuk 'mengalami'. Yang bersangkutan harus melakukan sejumlah penyesuaian. Dalam prosesnya ia akan menemukan diri sendiri melalui persentuhannya dengan orang-orang lain atau hal-hal yang baginya tadinya asing. Inilah yang membuat seseorang yang bepergian sebagai traveler akan pulang kampung sebagai sosok yang mungkin sama tapi dengan pribadi yang lebih kaya. Dan 'kekayaan' itu yang kita tunggu sebagai oleh-oleh buat bangsanya..

Jaman sekarang sudah bukan saatnya jadi turis, apalagi kalau niatnya cuman jalan-jalan buat shopping spree. Satu foto yang menarik barangkali jauh lebih bermakna dibanding sebuah T-Shirt apalagi gantungan kunci, satu artikel (di blog atau di media massa) malah jadi 'oleh-oleh' yang sukur-sukur berharga buat teman-teman atau pembaca yang tak kita kenal pribadi...

p.s: buat yang masih ada di rantau, jangan berhenti berpetualang, karena kerja kreatif Anda masih dinanti di sini. Coba sekali-sekali tinggalkan teman sekampung, dan cari diri Anda sendiri di tengah dunia yang serba 'asing'. Mumpung di sana geto lho..


Percakapan Sederhana..







Barangkali kita suka meremehkan hal yang sederhana. Akibatnya, kita jadi ribet. Semakin tambah umur saya semakin sadar pentingnya hal-hal yang sederhana. Karena apapun yang sederhana biasanya lebih punya makna. Dan segala hal yang sederhana bukan berarti bodoh. Justru sebaliknya.

Contohnya banyak. Tengoklah karya kreatif, apapun bentuknya. Barangkali saya bisa kasih contoh dalam bentuk film. Baik panjang maupun pendek pada akhirnya setiap film akan digugat dengan pertanyaan "Mau bicara apa?" Yang ini terjawab, selanjutnya perjalanan akan berlanjut dengan selamat. Bolehlah dikemas dengan beragam format, eksperimental kah, linear kah, dst. Tapi ya itu, jawab dulu pertanyaan yang pertama tadi. Pertanyaan ini bisa diajukan ke bentuk kerja kreatif apapun.

Konsekuensi bagi siapapun yang memutuskan terjun ke rimba kreatif adalah menyerahkan penilaian terhadap karyanya pada orang lain. Bukan jadi pembela ("...maksud gue padahal enggak gitu.." atau "...barangkali elo yang nggak ngerti.."), atau pelindung ("...nanti waktu elo nonton tolong perhatiin gambarnya! Gue pake kamera tercanggih, belum ada yang make di sini! Jadi jangan perhatiin yang lain."), atau menempatkan diri sebagai korban ("...kritikus yang itu emang sentimen sama gue dari jaman SD..").

Intinya lagi-lagi sederhana saja, setiap hasil kerja kreatif pada akhirnya punya kehidupan sendiri. Jadi setelah 'barangnya jadi', tak ada lagi yang bisa campur tangan mengintervensi kehidupan karya itu. Tugas kita, pekerja kreatif, pada akhirnya sebetulnya jadi bisa jauh lebih sederhana kalau kita yakin porsi kerja kita ada di tahap persiapan sampai 'melahirkan'. Hanya pada dua tahap itu kita diberi kesempatan untuk bekerja dengan sebaik-baiknya. Selebihnya, karya kita sudah jadi milik semua orang. Dan semua orang boleh bicara apa saja..Sederhana kan?






Thursday, September 28, 2006

Tornado, Tornadoistas..













"Kopinya instan apa bukan Mas?" itu pertanyaan standar saya kalau saya 'sakau' kafein di resto/'kafe' atau tempat makan yang saya tak kenal betul. Kalau jawabannya kopi instan, saya memutuskan tak jadi pesan. Karena dampak psikologisnya bisa gawat, buat saya, buat resto yang bersangkutan, dan buat siapapun yang ditakdirkan sedang bersama saya saat itu. Saya heran dengan pemikiran pengelola resto/'kafe' yang menggampangkan urusan kopi. Menurut saya, sangat tidak bertanggung-jawab lho mencantumkan harga seputar Rp. 15 ribu untuk kopi yang tidak diolah dengan profesional. Kalau cuman kopi instan dibanjur air mendidih, ya jangan dimasukkan ke daftar menu dong, sekalian saja bilang ke pengunjung, "Silakan bawa termos."

Sejauh ini, dalam tiga tahunan terakhir buat saya, belum ada yang bisa mendekati 'kebenaran' rasa kopi olahan Tornado. Rasa kopi Tornado pas buat pecinta kopi kelas berat. Rasa kopi tempat lain (terserahlah mau terkenalnya seperti apa)-bagi Tornadoistas (istilah karangan saya) bisa dibilang lebih cocok bagi peminum kopi pemula, atau peminum 'kopi gaul' (cuman minum kopi saat bergaul). Para pengunjung yang ngopi di Tornado wajahnya cenderung 4 L (Lo Lagi Lo Lagi), tapi mereka peminum kopi serius. Tornado juga tak pernah beriklan, jadi 'promosi'nya lebih via 'testimonial' para pecandu kopi yang awalnya coba-coba lalu kembali lagi ke tempat itu. Sang baristanya bahkan sudah tahu ramuan kopi yang sesuai dengan selera para 'banci kopi' yang kerap (atau bahkan senantiasa) nyangkut di Tornado. Buat pecandu kopi serius seperti saya, kami baru akan ke gerai kopi lain kalau saat kepingin ngopi kami berada di tempat yang kelewat jauh dari Tornado. Buat saya, Tornado adalah tempat penting sekaleee buat para 'banci kopi' yang rewel pula seperti saya.
Jadi ibaratnya, di negara kita yang semua serba tak pasti ini, presiden dan kabinet bolehlah ganti, tapi tempat ngopi yang ini mudah-mudahan tetap abadi..

Catatan: tulisan ini tetap swadaya lho, bukan advertorial atas pesanan Tornado! Jadi biarpun besok saya ke sana, bukan berarti saya bisa ngopi gratis geto..










Wednesday, September 27, 2006

So(a)l Sepatu..















Persentuhan awal saya dengan sepatu 'tidak cantik' yang terbuat dari kulit, bertali dan bersol karet/kulit mentah terjadi waktu saya masih kecil. Saat itu badan saya yang compact (baca: gemuk dan pendek, secara sekarang pun tinggi total saya cuman 160 cm) tiba-tiba mental dari ayunan akibat ditendang seorang anak menyebalkan bernama sebut saja 'Little Hitler' . Jadi, siang itu saya pulang untuk lapor ke ayah dengan harapan beliau akan mengambil alih urusan si 'Little Hitler' sialan itu. Ayah saya eksentrik tapi super logis, beliau menanyakan kronologis kejadian lalu mengajak saya ke...toko sepatu.

Di toko sepatu itu ayah tanya ke saya, "What kind of shoes did he have?" Saya menunjuk ke deretan sepatu 'tidak cantik'. Ayah memperhatikan bagian sol sepatu, mengangguk, meminta nomor saya pada si penjaga toko, langsung memakaikan sepatu itu ke saya. Kami pulang berjalan kaki, melewati taman di mana 'Little Hitler' masih meraja-lela memonopoli ayunan yang dikudetanya dari saya, ayah menatap saya dengan wajah lempeng dan bilang, "Kick his butt. Now." Dan itulah yang saya lakukan, tentunya. Sejak hari itu, tiap kali saya melewati taman dengan sepatu 'sakti' saya, siapapun yang sedang main ayunan melipir, termasuk.. 'Little Hitler'.

Setelah mulai kerja saya malah punya kebiasaan untuk pakai sepatu bersol kulit mentah yang agak keras kalau harus meeting dengan orang yang menjengkelkan. Tenang, setelah 'Little Hitler' saya tidak pernah menendang siapa-siapa, tapi secara psikologis saya merasa terbantu kalau mengenakan sepatu yang saya yakini punya 'kekuatan' bila diperlukan. Sampai sekarang kalau saya harus pakai sepatu 'sok cantik' saya suka cengar-cengir sendiri sambil membatin dalam hati, "If I have to kick some butts today, these shoes wouldn't do the job.."


















Monday, September 25, 2006

What's The Rush?
















Alhasil, jadilah saya orang Jakarta sorangan asli di Makuhari (terletak di Chiba, nyaris dua jam dari Tokyo Pusat). Ada sutradara Iran yang berpembawaan elegan, Ali Raffi. Beliau sudah berusia kepala enam, dan "The Fish Fall In Love" adalah film pertamanya. Sebuah film yang hangat, penuh warna dengan karakter yang utuh, juga sentuhan humor yang belum pernah kita lihat di film-film Iran yang biasanya menyajikan landscape selain tentunya penderitaan. Bicara dengan beliau sangat mengesankan. Ali Raffi menghabiskan 40 tahun lebih kehidupannya di Eropa, di Perancis beliau pernah berkarir sebagai sutradara teater. Kami salut dengan kegigihan beliau untuk beralih jadi sutradara film di usia yang tak lagi muda. Tapi buat beliau perubahan bisa jadi kapan saja, dan memulai sesuatu yang baru bukanlah ditentukan oleh usia. Luar biasa.

Ada Huang Yu-Shan (sutradara), Tom Shu-Yu Lin(sutradara) dan Mr. Feng (produser, dan ini nama kecil lho, bukan formal) dari Taiwan. Yu-Shan pembawaannya tenang, mengingatkan saya pada Nan Achnas. Yu-Shan adalah sutradara film "The Strait Story", sebuah film cantik, telaten dan romantis yang diilhami kisah ayahanda Yu-Shan. Sutradara wanita ini tadinya adik kelas Ang Lee di NYU. Tom adalah sutradara muda yang sampai hari ini masih mau menjadi Astrada Tsai Ming Liang. Lalu ada Sid Lucero (aktor), Angel Aquino (aktris), Adolfo Alix (sutradara/penulis), dan Ricky Gallardo (produser) dari Filipina. Dari Korea ada sutradara film "Peter Pan Formula", Cho Chang-Ho, yang sebetulnya ramah tapi hanya berbahasa Korea dan selama di Jepang didampingi penterjemah Jepang-Korea-Jepang, jadilah si mas Chang-Ho ini hanya bergaul dengan penterjemahnya dan seorang sutradara Jepang yang kocak Ota Takafumi. Masih untung Ota bisa bahasa Inggris.

Untuk festival sekecil itu Makuhari 'gebyar' among tamu. Setiap tamu bisa punya dua pendamping, untuk meyakinkan kami tidak kesasar (!) atau terlambat datang ke acara. Di hari kesekian, tentunya para tamu sudah mulai terampil mengelabui among tamunya. Setiap malam, usai makan malam kami akan belagak bubar, lalu ngumpul lagi di sebuah kedai sake dan ngobrol sampai pagi. Ini enaknya festival kecil, semua peserta bisa jadi akrab. Kami ngobrol banyak hal, mulai dari makanan, minuman, film tentunya, dll. Lalu mereka minta diajari kalimat yang khas Indonesia. Saya berpikir sesaat lalu bilang, "Kok buru-buru?" Apa tuh artinya tanya mereka? Saya bilang, "What's the rush?" Ini adalah ekspresi khas bangsa saya tercinta kalau lawan bicara kelihatan resah, soalnya kami suka ngobrol kata saya. Teman-teman baru saya tertawa dan bertepuk tangan sebelum kemudian bersulang sake yang a la maaaakkk nendangnya!

Hari-hari berikutnya para among tamu lah yang dibuat mau gila, karena teman-teman saya jadi suka mencandai mereka. Tiap kali mereka menghalau kami untuk buru-buru, para among tamu diganjar dengan pertanyaan, "What's the rush?" dalam beragam bahasa...














(Untungnya) Kita Bukan Dewa..
















"You're late Prima-san.." lagi-lagi itu komentar pertama salah seorang among tamu Makuhari Asian Film Festival. Sekali ini saya tidak bisa minta maaf, saya menunjuk buku program yang menuliskan waktu acara tanya jawab berlangsung. Saya datang tepat waktu, jam 16.05! Apanya yang salah? Jam saya? Atau buku program mereka? Jawabannya baru saya peroleh dari salah seorang kawan asli Jepang yang kebetulan hadir di festival itu juga, "What they mean by being on time is that you have to be at the venue 20 minutes prior to the event.." (!) O jadi getooo?? Ngobrol dong? Itu pun salah menurut tata bahasa. Kalau mau begitu ya jangan bilang 'on time' tapi 'in time'.

Waktu Q and A berlangsung ada penonton Jepang yang bertanya, "Kalau lihat film ini, banyak muatan humornya. Padahal di Indonesia yang saya dengar selalu ada masalah, mulai dari bencana alam (tsunami, gempa, dll), politik (ini sih banyak lah yaa..), sampai penyakit (flu burung, dll). Kok masih bisa tertawa?" Saya jawab dengan setulusnya, "Bangsa saya punya hubungan yang lebih sehat dengan waktu. Kalau janjian dan telat 30 menit s/d 1 jam kita masih santai saja, kalau ketemu sama orang yang kita kenal di jalan-kita masih sempat basa-basi, kalau ada bencana besar, kecil, sedang, kita masih bisa bisa bersyukur...Saya enggak bilang sikap kami seutuhnya benar, tapi saya yakin we have more life than many other countries probably do..our answer to overcome all kind of disasters is one: just keep on living.. Seriously, if you guys saw The Lords of the Rings, I could say that my people are actually similar to the Hobbits..And we're proud of it."

Tentunya para Jepang itu menganga, teman-teman saya dari negara lain yang juga ikutan hadir di acara Q and A itu cengar-cengir lalu menyebut saya 'nekat'. Saya enggak nekat, tapi saya enggak suka aturan protokoler yang over-dosis, dan saya bangga jadi orang Indonesia yang tahu caranya hidup sebagai manusia, bukan nyamar jadi dewa serba sempurna...itu mah, udah jatah yang di ATAS.