Monday, March 10, 2008

Bulan Pakai Dia, Orang Dulu Bilang Dia Harus Tersedia! Tapi?






Dan kemarin adalah hari yang agak terkutuk buat saya. Menunggu hujan reda cuman supaya saya bisa menyeberang dari satu mal ke mal lain karena ada meeting di sana sungguh nyebelin. Begini, konsep 'sehari dua mal' itu sudah membosankan--apalagi kalau tersandera di dalam salah satu dari dua tempat itu.

Apa yang bisa saya jadikan mekanisme pertahanan di dalam mal? Minum kopi. Tapi ini kan bisa dilakukan dengan singkat? Nah, kalau mau memperpanjang waktu bisa dilakukan sambil baca buku. Lha, kok ya bukunya ketinggalan? Akhirnya, daripada 'mati gaya' dan 'mati angin' saya memutuskan menyeberang untuk mengejar meeting berikutnya. Dan hujan itu tadi. Tak jadi soal kalau saya bawa payung, tapi nyatanya tidak..

Kata sifat 'sabar' bukan milik saya. Jadi lupakan 'menunggu'--buat yang satu ini kan harus ada modal dasar? Ya sabar itu tadi. Kalau sudah begini saya jadi sok pinter. Mulailah saya mencari payung dengan niatan, apa boleh buat deh gue beli! "Diskon mbak, jadi tiga tujuh lima..." kata penjaga departement store itu. Gimana?! "Dari lima limapuluh!.." Edun! Itu sama dengan tiket pesawat ke luar kota (di luar hari libur)! Ngapain gue beli? Wong hujannya lokal kok sok mau pakai payung impor? Gokil! Di tempat lain di mal yang sama, harga payung termurah tetap di atas Rp. 50 ribu. Seperti biasa, kondisi begini buat saya adalah urusan prinsip. Saya tetap enggak mau beli! Karena saya ribet sejak orok, percayalah ada urusan-urusan yang menurut orang lain enggak penting tapi menurut saya prinsipil banget. Jadi cakupan 'urusan prinsip' saya itu tersedia dalam beragam ukuran, dari XS s/d XL. He3.

Soalnya gini lho, hujan itu kan dialami semua orang? Nah, yang sanggup beli payung setengah juta ke atas itu pasti orang-orang yang punya mobil plus punya barisan staf yang membuatnya enggak akan pernah juga memegang payung itu sendiri. Kalau payung harus mahal, dan impor pula (setelah kita juga impor beras, kedele, konon daging sapi, dll)- terus buat yang enggak mampu beli payung apa lantas dipersilakan basah kuyup (kalau perlu sekalian jadi korban banjir) dengan bonus beragam penyakit? Mana ekspresinya?? Eh salah! Mana logikanya???

Sebentar, sebentar. Jangan-jangan emang kita juga yang suka gila. Keluar rumah sambil bawa payung bukan hal yang umum kita lakukan. Padahal dari dulu siapapun kenal dengan ungkapan 'sedia payung sebelum hujan'. Saudara-saudara kita di Ambon dan selalu juara kalau bikin lirik yang jenaka bahkan punya lagu dengan syair 'bulan pakai payung'. Lagu ini tercipta jauh-jauh hari sebelum jewnk Rihanna itu kondang dengan lagu Umbrella (biarpun dia keribetan sendiri bikin syair--bisa jadi karena enggak punya sepupu di Ambon yang bisa diajak konsultasi via chatting, jadi bagian dari 'lirik' lagu itu cuman..ella..ella...ee...). Belum lagi beragam upacara kebudayaan di negeri kita tercinta ini kerap menggunakan payung juga. Jadi, dari dulu payung itu sudah dianggap penting, tapi kenapa kita enggak akrab dengannya?

Alasan yang kerap dipakai adalah 'sering ilang' akibat saat kelar dipakai, si payung yang masih basah digeletakkan begitu saja di satu titik dan lupa dibawa pulang sesudahnya. Di Jepang ada solusi praktis. Di setiap tempat-tempat umum disediakan plastik untuk tempat payung yang masih basah. Ada pula tempat 'parkir payung' berkunci, jadi payung bisa dititipkan di luar gedung dengan aman. Nah, alasan lain yang juga saya gunakan adalah 'repot karena berat'. Menjawab masalah yang satu ini, lagi-lagi di Jepang sejumlah payung dibuat sangat ringan. Tapi kenapa orang Jepang 'kerajinan' menemukan beragam urusan sehubungan dengan payung ini tadi? Barangkali karena mereka terus kekeuh pakai payung (kayak bulan di Ambon itu lho), mau berat kek, mau repot kek, mau ilang kek, karena cuaca enggak bisa dilawan. Dan karena kekeuh-nya itu mereka menemukan sejumlah solusi brilian. Barangkali lho. Akan halnya kenapa kita enggak mau bawa payung? Jangan-jangan alasan sebenarnya nih, karena kita sering malas. Barangkali. Soal pepatah lama 'sedia payung sebelum hujan'? Lha, kan kita hobi ngelawan? Termasuk ngelawan sejarah? Makanya sering kecemplung di mana-mana, cekakakak!

(Setelah berpikir super kontemplatif soal payung ini, hujan mereda. Saya pun sakses menyeberang tanpa payung berharga setengah juta yang enggak penting itu, he3).

No comments: