Sunday, February 24, 2008

'Hakim Jalanan', 'Vokalis Kagetan', dan 'Joki Opini', Apanya Yang Salah?











Delegasi Indonesia pernah sowan ke Dego Hoeg Valley, menemui Menteri Penjajahan Belanda untuk melobi agar mereka segera mengakui kemerdekaan bangsa kita. Dan jawaban para pihak yang dilobi adalah, "Belum bisa! Bangsa kalian belum siap!" Dari titik ini, HARUSNYA kita belajar: (1) Para pendiri bangsa 100% benar, kemerdekaan tak akan pernah bisa ada atau datang bak parcel di hari raya, dia harus direbut; (2) Mengasumsikan kesiapan massa tanpa pernah ada dialog terbuka (apalagi data), dan hanya berdasarkan kekuasaan saja adalah 'mainan' lama; (3) Kekuasaan baru bisa ditaklukkan kalau publik sepakat untuk menolak penindasan para penguasa, dan penolakan ini biasanya terjadi setelah melalui proses berpikir, mengidentifikasikan masalah (ohh, ga bener lho ini), dan mencari solusi yang sesuai dengan landasan hukum yang berlaku (wah, pelanggaran begini ini adalah pelanggaran hukum lho).

Sederhana? Tidak. Tapi untuk memahami bahwa sampai 63 tahun kita merdeka dan 10 tahun setelah Reformasi 1998 kita masih suka mensabotase kemerdekaan sendiri sebetulnya tidak sulit. Serius. Silakan periksa lingkungan keseharian kita:
(1) Ini bukan urusan gue, ini urusan pemerintah--mereka dong yang mikirin!
Maaf, semua hal yang ada di ruang publik biasanya bersangkutan dengan hukum, jadi harus dipikirkan oleh semua orang.
(2) Gue bisa ngomong apa aja! Ini kan negara demokrasi!
Bicara apa saja itu juga harusnya dikaitkan dengan luas lingkup bicara soal apa, kapan dan di mana. Reaktif tanpa memahami betul permasalahannya, lalu berani 'tampil vokal' untuk memuaskan diri sendiri itu bukan perilaku demokratis. Apalagi kalau menghujat kanan-kiri, menyalah-artikan masalah yang seharusnya diatasi dengan mencampur-adukkan dengan penilaian pribadi tanpa dasar.
(3) Gue harus kelihatan berwawasan! Jadi gue gebyar referensi!
Ini penyakit juga lho. Kutip kanan-kiri tanpa izin, lebih 'ancur' lagi cut and paste dari beragam blog atau website, mencontek habis gaya bicara atau gaya penulisan orang lain, dengan alasan apapun adalah konfirmasi terhadap perilaku kontra demokrasi. Ini bentuk menyedihkan dari sabotase kemerdekaan diri sendiri. Wong punya ruang buat berkembang kok malah ribet nyontek sana-sini? Kapan bisa maju?
(4) Bukan gue lho yang ngomong, itu kata si A, kata si B..
Pinjam nama orang sebagai 'joki' pendapat sendiri itu basi! Kalau mau ngomong, ya ngomong aja lah. Jadi, jangan manfaatkan teknologi dengan menulis pendapat menggunakan nama samaran, sebaiknya 'pasang badan'. Pinjam pendapat untuk 'jualan' juga sebaiknya dipikirkan ulang. Termasuk kegiatan mencantumkan 'blooper' atau 'endorsement' untuk menjual buku. Saya punya pengalaman super buruk, di mana pendapat saya disunting habis oleh si penulis yang minta pendapat saya dan pendapat saya itu dicantumkan di luar konteks alias diambil bagian yang 'mendukung' jualan buku yang bersangkutan.
(5) Gue bukan Stephen Chow tapi gue bisa bela diri!
Kalau satu-satunya ilmu silat yang Anda kuasai adalah 'silat lidah', maaf ini juga basi banget! Men'cipta'kan alasan ini dan itu untuk membela hasil kerja sendiri setelah pekerjaan selesai dan edar adalah kelakuan orang yang tidak percaya kita sudah merdeka di atas setengah abad lewat.
(6) Gue tahu itu enggak bener, tapi mau ngomong enggak enak..
Patokan perasaan 'enak' atau 'tidak enak' sungguh super abstrak, dan inilah yang dipraktikkan secara gencar di zaman ORBA. Patokan yang harus kita kembali praktikkan adalah 'salah' atau 'benar', ini lebih praktis dan lebih 'nyambung' dengan konsep demokrasi.
(7) Shh, jangan bilang siapa-siapa lho..
Bicara di belakang punggung seseorang tapi tidak berani bicara langsung ke yang bersangkutan, 'melobi' agar sejumlah orang tidak suka pada orang lain, dalam skala apapun sebetulnya memalukan. Tidak haruslah kita cocok selalu dengan semua orang, namun ketidak-cocokan itu silakan diatur antara pihak yang bersangkutan saja. Demokrasi tidak bisa jalan via 'arisan', tapi melalui jalur-jalur yang jelas dan transparan, tanpa perlu selalu berkonsensus. Kalau Anda keberatan dengan A, bukannya lebih gampang berurusan dengan A saja? Buat apa Anda bagi-bagi 'perkara' ke orang-orang di luar Anda dan A? Jangan sok punya niat baik dengan alasan, "Biar yang lain berhati-hati dengan si A", 'kampanye negatif' Anda malah bisa jadi bumerang buat Anda sendiri. Enggak perlu dengar dari Anda kalau si A memang enggak beres, pasti yang lain akan tahu juga. Kenapa? Karena orang lain juga punya penilaian kok, bukan Anda sendiri yang pintar.

Siapa bilang gampang jadi orang merdeka? Apalagi merdeka dan demokratis? Kalau cepat sensitif dan jadi reaktif mendengar kata 'liberal', atau 'kebebasan berekespresi', 'kebebasan berpikir', tanpa paham dengan baik, maka awal yang baik adalah mempelajari lagi makna sejumlah istilah dan ungkapan yang kerap memancing banyak orang menjadi 'hakim jalanan' tersebut. Enggak ada yang menarik apalagi seksi dari para 'hakim jalanan', 'vokalis kagetan', apalagi 'joki opini'. Asli.

No comments: