Thursday, January 31, 2008

Opini dan Proporsi




Dan hari itu datang. Wafatnya Pak Harto, 27 Januari 2008. Sebagai manusia yang menjadi bagian dari peradaban tentunya kita harus punya rasa hormat. Tapi sebagai manusia yang dikaruniai nalar kita juga tetap harus berpihak kepada kebenaran. Karena keberpihakan kepada kebenaran selalu 'memenangkan' manusia.


Tapi liputan media TV membuat saya sakit perut. "Reportase" yang kadung diracuni gaya infotainment bukan cuman menjengkelkan karena jauh dari akurasi, apalagi kredibel, tapi penuh dengan kesalahan-kesalahan mulai dari tehnis (seperti penyebutan nama mantan pejabat), hingga 'coverage' alias liputannya sendiri. Para 'reporter' kebanyakan kadung melodramatis berlebihan, "Inilah hari penuh kedukaan mendalam bagi seluruh rakyat Indonesia, dst, dst." Di saluran lain seorang 'reporter' tengah melaporkan, "Ribuan orang tumpah ruah ke jalan Cendana, dst." Tidak ada yang ingat di hari itu barangkali keluarga orang-orang yang hilang akibat kekerasan politik era Suharto saat itu menonton televisi dan masih juga bertanya-tanya kapan keadilan berpihak kepada mereka. Malam harinya, seorang pemandu acara nyaris berdebat kusir dengan seorang pengamat politik yang juga jengkel dengan liputan televisi. "Bukankah bangsa kita bangsa yang pemaaf?" 'gugat' si pemandu acara. Astaga. Yang beginian kok bisa kerja di media ya?


Belum lagi sebutan 'Pahlawan Besar', 'Bapak Pembangunan', lagu Gugur Bunga yang tak henti, kecuali di satu saluran televisi swasta. Apa yang salah? Banyak! Figur Kepala Negara memang layak dihormati. Tapi, posisi itu tetap tak luput dari kewajiban mematuhi hukum. Sejak tahun 1897 Lord Acton dalam suratnya ke Bishop Mandell Leighton sudah menyadari betapa berbahayanya figur pemegang kekuasaan. Dan di suratnya itulah ia mengatakan salah satu ungkapan yang paling legendaris, "Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely. (Because) Great men are always bad men" Praktik kekuasaan yang tiada batas memang selalu membahayakan. Dalam kasus Pak Harto, hal itu diperparah dengan tidak adanya batas waktu yang bisa membatasi lamanya beliau berkuasa saat itu. Sebagai penguasa, sebagai manusia, inilah yang menjebak beliau pada akhirnya.


Jangan pernah lupa, di masa beliaulah timbul istilah 'Demokrasi Pancasila', dan dampak dari penerapan Demokrasi Pancasila ini gila-gilaan akibatnya. Tak ada oposisi, tak ada yang bisa bicara, bahkan pers pun bungkam. Karena kalau tidak? Pers yang harusnya bisa menyuarakan opini publik itu diberangus.


Jangan juga pernah lupa, di masa itu pula kita kenal 'dwifungsi ABRI'. Betapa takutnya publik pada oknum berseragam, karena mereka bisa melakukah apa saja. Dan lebih gilanya, mereka juga yang menjadi pembina sejumlah cabang olah-raga, duta besar, juga kepala daerah.


Jangan sampai ada yang lupa, di masa yang sama ada belasan peraturan RESMI yang membatasi gerak-laku warga Indonesia keturunan Cina! Tengok PP No. 14/1967 yang dahsyat itu. Sebagai akibat dari PP ini, maka warga Indonesia keturunan Cina tidak bisa berbahasa Cina, tak punya nama Cina, dan dilarang total menggunakan aksara Cina untuk kepentingan apapun. Lebih gila lagi, akibat peraturan ini, bahkan bagi WNI asli seperti saya, hari ini saya wajib merasa malu, karena pernah ada lembaran hitam sejarah negeri kita yang membenarkan penumpasan akar budaya Cina, sehingga kawan-kawan kita itu perlu mendeklarasikan bahwa mereka adalah WNI Keturunan, dan ini hanya berlaku bagi keturunan Cina saja! Tidak bagi kawan-kawan kita yang WNI keturunan Arab, Eropa, maupun yang lainnya. Kalau itu belum cukup, masih ada PP lain lagi di tahun 80-an yang melarang didirikannya rumah ibadah atau renovasi kelenteng Cina. Buat kita, yang sama-sama WNI 'asli'--kita WAJIB MERASA MALU meski hal PP No. 14/1967 itu sudah dicabut di masa Gus Dur, namun sekali lagi, jangan pernah lupa kita pernah sepakat buat ikut-ikutan jadi diskriminatif terhadap teman-teman WNI Keturunan ini dengan tidak pernah mau tahu soal budaya mereka, bahkan ikut mengamini eksistensi WNI Keturunan, dan karenanya bisa jadi kita juga ikut kontribusi menjadikan WNI Keturunan ini 'malu jadi Cina'. Padahal itu semua tidak perlu.


Jangan sedetik pun kita lupa, sejumlah orang yang hilang tidak menentu hingga hari ini, juga kebanyakan adalah korban dari keberanian mereka dalam upaya menciptakan perubahan setelah kita ditekan untuk tidak boleh bicara selama puluhan tahun. Di antara mereka yang hilang itu adalah anak, suami, ayah, ibu, istri, dari seseorang.


Belum lagi gebyar korupsi yang kadung dianggap membudaya itu. Harta salah seorang putra Suharto yang kini menjadi bintang infotainment akibat perceraiannya itu disebut sekitar Rp. 2,75 triliun! Bandingkan dengan angka pengangguran hari ini. Atau dengan kenaikan harga bahan dasar seperti minyak goreng dan ketiadaan kedele, dll itu.


Tuntaskan dulu masalah hukumnya, baru kita maafkan. Biarpun beliau sudah tak ada, tetap ada tanggung-jawab yang bisa diteruskan oleh turunannya. Karena, di satu masa, 'bapak pembangunan' sempat lupa, bahwa ia harusnya menjadi bapak dari 220 juta penduduk Indonesia, bukan cuman bapak dari lima orang anaknya yang semua pengusaha sukses itu.


Jangan mau dibuat lupa, bahwa apapun yang ada di ruang publik urusannya adalah urusan hukum. Bahwa kita menyempatkan diri bela sungkawa, monggo. Tapi jangan lantas belagak lupa, lalu karena emosional buru-buru memaafkan. Urusan kebenaran adalah urusan pembelaan terhadap harkat manusia. Ini yang harus dipahami. Jangan buru-buru menulis puisi selamat jalan dengan mendayu-dayu, apalagi kalau belum betul-betul tahu apa yang sebetulnya menjadi hak dan kewajiban kita sebagai warga yang kadung ditakdirkan hidup di masa yang penuh PR seperti sekarang ini.


Yang jelas, persis seperti kata Milan Kundera, TOLAK LUPA!


*)Saya lumayan terhibur mendengar pidato SBY di pemakaman itu, beliau tidak menyebut kata Kami Bangsa Indonesia Memaafkan. Ini penting, dan mengimplikasikan masih ada harapan.

1 comment:

rangga said...

Prim, gua ada blog baru lho, pasang yang ini aja ya buat link...

www.katarangga.com