Friday, February 01, 2008

Editor! (Wanted!)




Konon, sejarawan ternama Onghokham selalu punya ide brilian yang harus diolah habis oleh para editornya agar bisa lebih mantap tiba ke para pembaca. Bukan hanya beliau, namun sejumlah tokoh penting yang sudut pandang serta keahliannya perlu diterjemahkan ke dalam bahasa tulis tak semuanya pandai menulis. Ini 'kasus' lazim di mana-mana.


Nah, pernah ada masa keemasan media cetak di mana berlaku hukum bahasa tulis tak boleh salah. Karena bahasa tulis sejatinya harus jadi referensi bagi para pembacanya. Jadi di sinilah fungsi editor diperlukan. Nama editor tak akan banyak dikenal. Posisi ini tak harusnya menjadi seleb, tapi jangan salah, dia sangat menentukan hasil akhir sebuah tulisan. Dan dia pula yang menyebabkan si penulis jadi tampak lebih baik.


Masalahnya, editor tak hanya mengurusi titik dan koma. Dia harus jeli dan harus berani berdebat sengit dengan penulisnya, kenapa? Karena ia mewakili mata sejumlah pembaca di luar sana. Urusan editor bukan cuma bilang, "Wah, paragraf ini enggak perlu, gue delete aja ya?" Tapi dia harus punya nyali untuk selalu kritis mempertanyakan apa sih gagasan yang ditawarkan si penulis kepadanya? Kenapa pembaca perlu diperkenalkan dengan gagasan itu? Apakah gagasan itu sesuai dengan editorial media di mana si editor bekerja? Jadi, para penulis yang tahu diri akan selalu rindu akan kehadiran editor. Meskipun, kerap hubungan editor-penulis ini lazimnya 'love-hate', tapi yang satu akan berfungsi lebih baik bila ada yang lainnya. Kurang lebih begitulah.


Apakah berarti kita punya cukup editor? Jelas tidak. Saya lumayan, punya sekitar tiga editor yang terpercaya. Mereka-mereka ini adalah pembaca saya yang paling kritis. Tugas mereka bukan memuja-muji tulisan saya tapi justru membantai habis bila perlu. 'Penyakit' saya adalah menempatan mereka di 'kursi panas'. Kalau mereka mengejar, saya akan terus bertanya ngapain sih buru-buru? Kalau saya sudah memenuhi target 'setoran', sayalah yang akan balik mengejar menanyakan pendapat mereka. Di satu titik, salah satu editor saya pernah dengan sukses membuat saya menulis ulang sebuah cerita pendek dari nol! Perdebatan sebelum proses penulisan ulang ini boleh dibilang gila-gilaan, tapi hasilnya melegakan.


Urusan langkanya editor ini ternyata sedang terjadi di manapun. Termasuk di AS. Di salah satu episode "International Correspondents" saluran CNN, perdebatan soal banyaknya media cetak yang gulung tikar juga berakar dari langkanya editor yang punya nyali. Pernah ada masa di mana para editor gila inilah yang 'melahirkan' sejumlah reporter dahsyat yang bisa sampai mengungkap skandal Watergate. Kemana mereka sekarang? Entahlah.


Ada yang berasumsi media cetak tergulung oleh internet. Tapi ini disangkal oleh sejumlah ahli media. Bagi yang paham media, mereka akan tahu publik bukanlah kelompok orang yang tidak pandai, justru sebaliknya. Publik berkembang terus dan menjadi lebih aktif. Namun yang dicari publik bukan cuman sensasi, tapi kredibilitas alias berita yang terpercaya. Juga wawasan yang hanya bisa diperoleh dari media yang punya kredibilitas tinggi dan punya sikap. Ini sekedar menjelaskan kenapa masih ada media cetak yang bertahan hingga hari ini. "Pekerjaan di media itu adalah profesi," demikian kata salah satu narasumber dari University of Columbia di acara "International Correspondents" itu. Dan karena ada yang namanya profesi pekerja media, maka harus dilakoni dengan profesional, alias tidak asal-asalan dan 'ada sekolahnya'. Dengan banyaknya reporter/penulis paruh waktu, justru peran editor ini jadi semakin diperlukan. Begitulah argumennya. Jadi kalau media cetak hari ini kurang seksi, itu bisa jadi karena media tersebut kurang punya kredibilitas, juga tak jelas dalam bersikap. Dan yang lebih pasti lagi, karena kekurangan jumlah editor.


Jadi, ada baiknya sebelum para penulis sibuk mencari penerbit, lebih baik cari dulu mahluk langka yang berjudul 'editor' ini tadi. Percayalah, buat memiliki pembaca para penulis harus berani memberikan hasil tulisannya untuk dibaca sang pembaca pertama, ya si editor itulah.








No comments: