Pagi ini, koran pagi memuat surat dari seorang ibu-ibu yang terkena pecahan kaca saat belanja di salah satu gerai Carrefour. Beliau tidak marah, hanya bilang kecewa dan menghimbau agar masyarakat berhati-hati belanja di hypermarket terkenal itu. Sehubungan dengan pelayanan Carrefour yang dinilainya ceroboh.
Internet memuat berita tentang wisuda di Virginia Tech di AS sana. Tentunya mereka belum betul-betul pulih dari luka akibat peristiwa penembakan masal beberapa waktu silam. Jadi acara lulus-lulusan ini juga bukan dititikberatkan pada suasana hura-hura, sebaliknya justru haru-biru. Para korban yang tewas dianugerahi gelar khusus, dan sembilan mahasiwa dari jurusan politik yang dikenang para dosen mereka sebagai, "..santun, juga pekerja keras" akan dihormati pula dengan membiarkan sembilan kursi di salah satu ruang kuliah jurusan politik Virginia Tech kosong selamanya..
Ini ironisnya. Saat kita percaya bahwa kita terlahir sebagai bangsa ramah tamah dan penuh toleransi, tapi masih gagap menerapkannya secara spontan dalam kehidupan sehari-hari. Kembali ke soal Carrefour itu misalnya, setelah ada korban sebelumnya, dan pelanggan tertimpa kaca (meski tidak parah), upaya penanganannya ya sudah, begitu saja. Bandingkan dengan yang terjadi di AS di mana bangsa yang satu itu kerap dituding tak berperi-kemanusiaan, individualistis, dan lain sebagainya. Tanpa bermaksud pro-AS, silakan perhatikan lagi soal gelar khusus dan penghargaan bagi mahasiswa korban penembakan di Virginia Tech itu, dalam waktu begitu singkat pihak universitas segera bersikap menolak melupakan peristiwa tragis itu begitu saja. Milan Kundera bilang, perjuangan melawan kekerasan adalah perjuangan ingatan melawan lupa. Harian Kompas kemarin membuat ulasan soal 'budaya lupa' ini dalam konteks penyelesaian yang tak pernah kongkrit urusan para mahasiwa yang tewas sembilan tahun silam itu. Jurnalis senior mereka juga mengutip Kundera. Minimal sudah ada niat media tertua di negara kita itu untuk mengajak massa menolak lupa...
No comments:
Post a Comment