Friday, May 18, 2007

Raksasa Itu Bernama S. Soedjojono


Majalah Seni Rupa Visual Arts No. 18 (April/Mei 2007), mencetak ulang cuplikan wawancara dengan salah satu perupa legendaris negeri kita S. Soedjojono (1913-1986). Wawancara itu dilakukan DR. Huyung, dan dimuat di Brochure Kesenian terbitan Kementerian Penerangan RI, keluaran tahun 1949.

Soedjojono adalah salah satu pendiri PERSAGI (1938), awalnya ia pelukis beraliran ekspresionisme, lalu ia beralih ke aliran realisme. Ia punya alasan kuat, "Apa sebab saya pergi ke Realisme? Realisme buat saya reel. Kalau Jogja diambil orang, saya mau merebut Jogja secara reel. Kalau saya rebut kedaulatan, saya mau rebut reel kedaulatan. Simbolis? Tidak mau! Tidak nyata!"

Dengan pernyataan sejelas itu, tentu kita bisa tahu sosok Soedjojono sebagai seniman yang punya visi dan kesadaran politik. Ia bahkan jelas-jelas menyayangkan perilaku seniman yang 'tega' untuk bilang 'persetan politik', dengan alasan, "Bisakah seorang seniman 'besar' kalau jiwanya tak besar? Bisakah gambar 'besar' kalau pelukisnya tidak berjiwa 'besar'?"

Masa di mana wawancara itu berlangsung mengimplikasikan adanya sejumlah tudingan pada para pelukis Indonesia yang kerap dikecam kritikus seni Eropa sebagai 'peniru'. Dan Soedjojono menyikapinya dengan berkata, "Kita tidak boleh mengabaikan suatu kritik. Kita baru di permulaan jalan. Barangkali bangsa Eropa lupa, awalnya mereka pun tak kenal garpu dan sendok karena bangsa Tiongkok lebih dahulu mengetahuinya! Apa yang tumbuh dari sebagian dari dunia adalah milik kita bersama. Jadi tentang pengaruh yang logis, tidak usah diakui oleh suatu negara."

Selanjutnya ia mengecam Belanda yang tidak pernah membangun sekolah seni di Indonesia. Di masa awal kemerdekaan banyak 'avonturir' menurut istilah Soedjojono, masuk ke dunia seni lukis. Argumen Soedjojono soal kecenderungan pelukis coba-coba ini adalah, "..kalau hanya mau jiwa saja, dua atau tiga tahun barangkali bisa dapat nama, tapi ia akan bingung sesudah itu, karena tidak ada tehnik." Dengan kata lain ia percaya perlunya landasan yang kuat bagi seorang seniman, jangan cuman asal terjun.

Dengan tajam Soedjojono juga memaki seniman yang masih 'cari muka' ke pihak Belanda karena menurutnya, "Tak tahukah mereka bahwa Bernard Shaw, Upton Sinclair, Chaplin, Paul Robeson, Andre Malraux atau Einstein akan tidak cocok dengan Belanda?"

Isi wawancara ini menurut saya sangat penting untuk diresapi di masa serba instan seperti sekarang. Kita tidak perlu tahu apa warna favorit Soedjojono, atau apakah dia punya affair dengan si ini dan si itu. Kita hanya perlu tahu bahwa negara ini pernah punya sejumlah raksasa kesenian seperti almarhum Soedjojono, karena ia tak hanya centas memainkan kuas di atas kain kanvas, tapi apapun yang bisa kita lihat dari sapuan kuasnya itu jelas-jelas hasil pergulatannya melawan keadaan, mempertanyakan posisinya sebagai seniman, dan terus menantang cara pikir siapapun yang ada di sekitarnya. Dan buat yang kadung percaya bahwa dunia seni hanya terbatas pada kawasan estetika serta liputan media, dan itu artinya seniman tidak perlu tahu hak dan kewajiban politiknya, silakan pikir-pikir lagi..






No comments: