Saturday, April 14, 2007

Enam puluh tahun plus..




Saya kerap mengutarakan kekaguman (bahkan sirik sebetulnya) dengan kedahsyatan para pemikir di era 50'an. Kok bisa angkatan pra-komputer (boro-boro internet) itu begitu hebat cara mikirnya?

Konon, menurut Taufiq Ismail, 60 tahunan plus yang silam, mutu bacaan buku sastra dan bimbingan mengarang siswa AMS Indonesia tak berbeda dengan mutu siswa SMU di manapun di dunia-HARI INI. Bahkan, dalam hal penguasaan empat bahasa, siswa AMS jauh lebih unggul ketimbang siswa Amerika, Jepang dan Eropa.*)

Sayangnya, mitos 'pembangunan' tiba-tiba datang dan memuliakan ilmu-ilmu eksakta. Bukannya itu salah, tapi kenapa hal tersebut harus membuat kita meninggalkan sastra? Ini bedanya dengan jaman Bung Karno, Natsir, Juanda, Ruslan Abdulgani dan Tan Malaka, yang dibuat ketagihan membaca sejak di MULO-AMS. Para pemikir ini punya kemampuan tinggi menuliskan fikiran mereka, yang dalam istilah Taufiq Ismail adalah, "..panen buah latihan mengarang di sekolah dahulu. Buku dan esai, seperti anak sungai, terbit mengalir dari tangan mereka."

Siang tadi kebetulan saya ngopi sebentar dengan salah satu editor saya. Dan dia juga punya kekhawatiran yang sama soal kurangnya 'modal' berpikir sebagian besar dari kita, termasuk para penulis dan calon penulis. Saya setuju dengan dia, banyak sekali yang mengira sudah pandai menulis karena lancar merangkai kata-kata dengan bunyi-bunyian indah tapi tanpa makna. Gaya bisa dipoles, tapi substansi cuma ada dua kemungkinan: ada atau tidak.

(*dikutip dari "Agar Anak Bangsa Tak Rabun Membaca Tak Pincang Mengarang", Pidato Penganugerahaan Gelar Kehormatan Doktor Honoris Causa di bidang Sastra Bagi Taufiq Ismail, pidato ini disampaikan oleh Taufiq Ismail, 8 Februari 2003).

1 comment:

Unknown said...

saya kira juga begitu. proses berpikir yang seharusnya dilakukan di pelajaran bahasa (atau language arts ya - penambahan kata "arts" juga menarik untuk dibahas) sudah sangat jarang terjadi. mungkin masing-masing kita bisa berrefleksi dengan pengalaman pribadi masing-masing. dan untuk kondisi sekarang, dimana segala sesuatu diukur dengan nilai tes, maka yang banyak terjadi adalah "superficial learning". sepertinya proses belajar terjadi dengan baik, yang tercermin dari nilai hasil tes yang mengagumkan. tapi yang sebenarnya terjadi, adalah belajar untuk tes, karena yang menjadi target adalah tes itu sendiri, dan bukannya "belajar". barangkali banyak praktisi pendidikan, pembuat kebijakan dan masyarakat secara umumnya sudah semakin dijauhkan pemahamannya terhadap konsep "belajar". pertanyaan-pertanyaan yang mendasar adalah "apa yang seharusnya dinamakan belajar? seperti apa bentuk pembelajaran yang kita inginkan? apa yang kita ingin lihat dari sebuah proses belajar?" dan apakah kultur pendidikan sekarang ini, yang menjadikan hasil tes sebagai hasil utama untuk mengevaluasi hasil belajar, mampu memfasilitasi terjadinya proses belajar seperti yang kita inginkan? waduh, maaf, barangkali saya menulis sudah agak bertele-tele ya. maklum, ini sudah lumayan mengantuk, setelah beberapa jam mata ditopang dengan cafe mocha.

menurut pendapat saya, kualitas pemikiran para pemimpin dan akademisi kita, apalagi para siswa kita, secara umum belum dapat menyamai kualitas generasi pendiri republik ini. dan hal yang saya ingin sorot adalah budaya "superficial learning" demi memenuhi tuntutan statistik yang diperlukan untuk evaluasi program. dan ini sudah terjadi selama puluhan tahun. kita sudah kehilangan satu (atau satu-setengah) generasi. barangkali banyak sekali para guru yang ada pada saat ini tidak memiliki sikap belajar yang baik. saya kok tidak yakin guru-guru kita suka belajar. saya sepertinya jarang melihat guru-guru kita larut dalam diskusi tentang buku-buku yang berkualitas (bukannya tabloid gosip, atau berita infotainment, atau juga sinetron, dll). ketika para guru tidak bisa menunjukkan budaya belajar yang baik, dan bisa jadi tidak tahu tentanng ketidaktahuan mereka akan budaya belajar yang baik, maka sangat susah bagi kita untuk megharapkan kualitas belajar para siswa kita aka berubah.

saya sadar kalau permasalahannya lebih kompleks lagi. tapi hal yang ingin saya soroti dan menjadi argumen sentral saya, adalah, telah hilangnya budaya belajar dalam insitutusi pendidikan kita. hal ini yang perlu dibenahi, dan ini dimulai dari dalam kelas, dan ini tentunya dimulai dari guru. ayo para guru, kita kembangkan budaya belajar yang baik. jangan segan untuk mengakui kekurangan diri, karena itu, mustahil kita bisa mengetahui apa yang kita perlukan untuk bisa bergerak maju.

kembangkan imajinasi, asah kreativitas, dan tuangkan dalam berbagai bentuk ekspresi, tulisan, visual, musik dan masih banyak lagi media yang bisa kita pergunakan. tingkatkan kualitas proses melalui input informasi - seperti bacaan, tontonan, dan lainnya - yang berkualitas.

makin tinggi kualitas guru, maka makin meningkat pula kualitas proses belajar yang terjadi dalam kelas, dan proses belajar yang saya maksud BUKAN belajar untuk mendapat hasil tes yang gilang gemilang, seperti yang kebanyakan digunakan oleh berbagai kalangan.

salam pendidikan,
iwan