Saturday, March 03, 2007

Tentang Sebuah Era Yang Datang dan Berlalu Terlalu Cepat ..








Saya punya teman yang kerap menanyakan pertanyaan unik via SMS. Suatu kali saya ditanya, "Kalau elo bisa milih satu era, di era mana elo pengen hidup?" Jawaban saya pasti, "Era 50an." Alasan saya? Itulah satu era di mana orang percaya pada ide-ide besar. Kalau kita menoleh ke era tersebut, kita punya alasan untuk bangga karena sebetulnya kita lahir dari tangan-tangan para pimpinan yang kalibernya luar biasa..
Dan, ketika saya berada selama seminggu di Yogya, tiap pagi saya minum kopi di sebuah tempat yang nyaman dan kok kebetulan di sana ada edisi khusus majalah berita yang mengulas ASIAN HEROES, saya memang tidak sempat membeli edisi majalah ini akhir tahun lalu. Ada tulisan mengenai persahabatan unik antara dua sosok besar di era 50an, Nehru dan Gandhi. Konon, Nehru lebih konservatif, dan Gandhi cenderung eksentrik. Meski keduanya punya visi dan misi yang sama, tak jarang mereka juga beradu argumentasi. Gandhi tahu betul betapa perjuangan untuk mencapai kebenaran itu tidak bisa dilakukan dengan bersikap pasif, alias tidak melakukan apa-apa. Meski ia memperkenalkan kepada dunia konsep perjuangan tanpa kekerasan, Gandhi juga tak sungkan untuk bilang, "If you believed in truth and cared enough to obtain it, you could not afford to be passive."

Nehru sendiri tak kalah unik. Di puncak popularitasnya memimpin India, ia justru meminta salah satu media cetak terkemuka di negerinya untuk menulis kritik terhadap kepemimpinannya. Konon, sang pemred tentunya sempat sungkan, lagipula siapa yang berani mengkritik sosok pemimpin yang melegenda seperti Nehru? Solusinya, Nehru menulis sendiri kolom itu dengan menggunakan 'anonim'! Nehru merasa tingkat urgensi untuk mengkritik dirinya begitu besar saat itu, karena ia tak mau publik pada akhirnya hanya mau membenarkan semua tindakannya. Luar biasa.

Di edisi yang sama di majalah itu juga ada ulasan tentang Bung Hatta. Sudut pandang tulisan itu mengulas soal pertemanan Bung Hatta dan Bung Karno yang terus berlanjut, meski Bung Hatta jelas-jelas menarik diri dalam konteks hubungan politik dengan Soekarno, karena tak setuju dengan arah perkembangan kepemimpinan Presiden RI pertama itu. Namun kedua sosok legendaris ini tak pernah adu mulut di belakang punggung masing-masing, apalagi membuat pernyataan guna mencari pembenaran di muka publik. Bung Hatta tak pernah menutupi alasan ketidak-setujuannya terhadap Bung Karno, namun keduanya memilih jalan masing-masing yang diyakini mereka tetap yang terbaik buat seluruh bangsa, bukan hanya diri mereka sendiri.

Apa yang membuat kita berada di hari ini? Di mana berita dan gosip kerap rancu? Politisi rajin adu mulut? Pejabat bisa bertindak vulgar? Jabatan kerap jadi pentas korupsi? 'Tokoh' masyarakat beragam lapisan, termasuk akademisi, tak malu hati untuk poligami? Banyak anak muda tak bisa bicara dengan kalimat lengkap bahkan tak tahu menggunakan bahasanya sendiri (meski bahasa Inggris mereka yang sebetulnya acak-adul juga tidak membuat omongan mereka jadi lebih punya isi)? Sukses dianggap konotatif dengan frekuensi seseorang tampil di televisi, sampai-sampai banyak yang bercita-cita untuk jadi 'selebriti'? Pejabat negara tak ragu untuk buang 'body'? Kosa kata anak kecil yang dibiarkan terlalu banyak nonton televisi antara lain 'kawin siri'? Mudah-mudahan ini sementara. Karena kalau kita sejenak mengintip ke era 50'an itu, barangkali kita bisa menghibur diri karena sesungguhnya 'kesalahan' hari ini bukan 'bawaan bangsa dari orok', berhubung 'start'nya sebetulnya 'udah cakep banget' istilahnya..

No comments: