Kalau awalnya dari ide, lalu dijadikan suatu bentuk (apapun wujudnya) oleh si empunya ide, 'bentuk' itu bisa disebut sebagai karya cipta. Lalu, katakanlah, saya nih, sebagai penulis, lagi 'mati ide' padahal sudah kepepet tenggat waktu, lalu saya memutuskan untuk cari kebetan dan menulis ulang dari kebetan itu sambil dirubah sedikit-sedikitlah tanpa bilang siapa-siapa, hasil akhirnya bisa disebut karya jiplakan. Proses 'penciptaannya' ada sih, tapi sedikit sekali, dan tetap dibilang contekan, karena kalau mau diklaim sebagai adaptasi pun harus ada penyebutan data sumber juga izin (dalam hal sumber tersebut bukan termasuk wilayah publik), dan tidak bisa tidak kita harus bilang secara terbuka, "..karya ini saya adaptasi dari..". Dalam kasus saya sedang supermalas, dan kok ya merasa '..tanggung amat nyontek? udah aja sekalian pakai yang ada..' terus yang saya ganti cuman nama penulisnya jadi nama saya, dan saya 'klaim' sebagai 'karya' saya. Ini namanya 'karya colongan', alias maling.
Pertanyaannya, kalau kita menemukan 'karya colongan' apa yang harus diperbuat? Pilihan (a)"Cuek ajalah, urusan si maling. Yang penting gue ga kayak dia.." atau pilihan (b) "Ini pelanggaran, kalau gue diem, gue salah..". Resiko memilih (a) hati kecil kita sebetulnya 'teriak', dan kita jadi bete karena sementara kita kerja keras di jalan yang 'benar' ada maling yang dianggap satu profesi dengan kita padahal cara kerjanya jelas beda, resiko memilih (b) kita akan diberi label 'reseh', 'sok tahu', 'kenapa sih ngurusin urusan orang? Urus aja urusan lo!' Tapi itulah intinya, kita sudah cuek 32 tahun lho sebelum akhirnya terjadi reformasi di tahun 1998. Satu momentum itu tidak bisa langsung merubah semua hal dalam sekejap, juga tidak bisa dilakukan oleh segelintir orang saja. Setelah ada sejumlah pahlawan reformasi yang rela mati buat negara ini, ya percuma kalau kita masih takut dianggap 'reseh' karena memperjuangkan hak sendiri, atau ketika melihat terjadinya pelanggaran. Jadi barangkali begini sajalah, dengarkan suara yang paling bisa dipercaya: kata hati kita. Wujud tindakan sebagai reaksi dari suara kata hati kita itu ya kembalikan saja ke diri kita sendiri, dan silakan ditindak-lanjuti sesuai kapasitas dan keberanian masing-masing untuk menanggung resikonya. Kalau dicap 'reseh' tapi ujung-ujungnya diganjar 'bonus' dalam bentuk solusi kok kayaknya lebih asik ya? Dibanding 'cuek' tapi diganjar hukuman dalam bentuk sesal? Atau menunggu sambil berharap ada orang lain yang mau berinisiatif? Hah? Hari gini..masih nunggu?? Berapa lama? Masak 32 tahun lagi??
No comments:
Post a Comment