Film dokumenter yang menggetarkan, "My Architect", hasil karya Nathaniel Kahn, putra tunggal hasil hubungan di luar nikah arsitek ternama Louis Kahn memperkenalkan kita pada sosok Kahn yang kompleks, bertalenta besar, nekad dan 'full time' dalam bekerja tapi justru 'freelance' dalam menjalani kehidupan pribadinya. Film ini dibuat 26 tahun setelah jasad Kahn ditemukan di Penn State Station. Semasa hidupnya, pertarungan Kahn dalam bekerja adalah 'perang total'. Bila ada para pekerja konstruksi yang menanyakan kenapa Kahn ngotot meminta mereka menggunakan jenis sekrup atau paku tertentu, yang mereka peroleh adalah kuliah rinci dari Kahn. Ketika Kahn mengajar di universitas, sejumlah mahasiswa tampak ternganga karena Kahn bercerita soal batu bata yang bisa 'bicara' kalau para arsitek mau 'mendengar'. Arsitek Amerika yang tak kalah legendaris, I.M Pei, menyebut Kahn sebagai 'seniman', karena meski tak sempat menghasilkan terlalu banyak karya, tapi dari sedikit karya yang terwujud boleh dibilang hampir semuanya disebut sebagai mahakarya atau minimal 'karya penting' (gambar di artikel ini adalah karya Kahn, The Salk Insitute, La Jolla). Meski bukan sosok yang relijius, bagi pengagum Kahn, ia disebut sebagai pelaku paham Yahudi yang mengajarkan bahwa 'Tuhan terlihat dari karyaNya'. Itulah yang jadi prinsip dasar kerja Kahn. Kegilaan Kahn bisa dilihat dari caranya merancang dan membangun Jatiyo Sangshad Bhaban (National Assembly Building) di Dhaka, Bangladesh, yang memakan waktu 23 tahun hingga selesai. Ketika Nathaniel berada di Bangladesh untuk memfilmkan karya almarhum ayahnya itu, seorang arsitek lokal berkata, "Barangkali Louis tidak sempat memberi banyak pada keluarganya sendiri, tapi ia sudah memberikan kami kebanggaan sebagai sebuah bangsa. Mudah-mudahan kelak Anda bisa mengerti.." Nathaniel barangkali masih perlu waktu untuk bisa betul-betul memahami ayahnya, tapi setidaknya dia sudah mencoba melihat ayahnya melalui cara pandang orang lain yang mengagumi Kahn via karyanya.
Harga sebuah komitmen memang mahal, hanya beberapa orang yang mampu 'membayar'nya hingga lunas. Sebagian sosok di balik sejumlah karya besar banyak yang akhirnya punya kehidupan pribadi yang tak sehebat karya yang mereka tinggalkan. Tapi karya-karya mereka itu kini ikut jadi bagian dari peradaban manusia, dan dari sejumlah karya besar itu kita bisa belajar untuk membedakan kapan kita harus menghargai seseorang dalam kapasitas kerjanya, dan kenapa kita harus bisa membedakan kapasitas kerja/talenta seseorang dengan kapasitasnya selaku manusia biasa.
Sebagian besar dari kita barangkali sampai hari ini baru termasuk dalam barisan 'manusia biasa', dan itu sah-sah saja. Tapi barangkali yang bisa kita lakukan, tiap saat kita punya kesempatan untuk bekerja, ya itu tadi, jangan 'stengki-stengki' istilahnya. Kalau Anda pecinta Star Wars barangkali Anda ingat apa yang dikatakan Yoda waktu Luke Skywalker hendak terbang buat pertama kalinya, "Do or do not. There is no try.." Saya setuju sama Yoda.
2 comments:
Secara narsis, emang kita semua pengen imortal. Makanya kita berkarya...
Dan males banget kan kalo kita diinget stengki-stengki... :p
"...kita harus menghargai seseorang dalam kapasitas kerjanya, dan kenapa kita harus bisa membedakan kapasitas kerja/talenta seseorang dengan kapasitasnya selaku manusia biasa" ==> Tidak ada kata lain selain SETUJU.
... Kadangkala kita punya impian dan visi selangit, tapi emoh kerja keras & kabur duluan kalau ngebahas tanggung jawab. Ya, sama juga bo'ong...
Post a Comment