Tuesday, September 02, 2008

Satu Pertanyaan untuk 44 Orang Tua..







"Jadi, kalau keluar dari sini, kamu mau langsung ngapain?" tanya kawan saya. "Minum Teh Botol dingin kak," jawab anak perempuan itu. "Emangnya di sini enggak bisa?" tanya kawan saya lagi. "Bisa, tapi harus yang di kardus atau dalem plastik. Enggak bisa megang botolnya," itu jawaban final si adik yang ditanya.

Minggu lalu (26-29 Agustus 2008), saya diajak beberapa kawan yang diminta mengasisteni seorang fotografer dari AS untuk memberikan pelatihan esai-foto di LAPAS Anak-Anak Perempuan Tangerang. Total ada 22 peserta, dari usia 14-20 tahun. Dan karena objektif pelatihan ini adalah mengajak adik-adik peserta itu bercerita melalui foto-foto yang mereka ambil, tak urung cerita-cerita mereka itulah yang ikut terbawa pulang oleh kami yang ada di sana.

Ada cerita tentang "S", yang termuda di kelas itu. S sudah menggunakan pil ekstasi sebelum berusia 12 tahun. Hari itu ia menunjukkan fotonya yang pertama, sebuah T-Shirt berukuran besar yang gambarnya hampir pudar. Rupanya itu bekas milik almarhum ayahnya. Kaos usang itu disimpan rapi di salah satu laci milik S. "Kalau pusing atau sedih, pasti saya pakai," cerita S.

Lalu giliran "H" menunjukkan foto lampu jalanan yang diambilnya. "Kenapa kamu motret ini?" tanya saya. "Soalnya dulu saya jarang pulang ke rumah," katanya. H punya cara bercerita yang menurut saya luar biasa. Bukan khas chick lit atau teen lit seperti anak-anak sebayanya. Salah satu fotonya menunjukkan ia membuka jendela kamarnya di tahanan itu, "Dulu saya enggak mungkin bangun pagi!"
"Kak, tolong bilang kakak yang itu saya pingin foto surat ini. Penting!" desak R pada saya sambil menunjuk salah seorang teman saya yang membawa kamera 'serius'. "Dari pacar kamu ya?" goda saya. R menggeleng, mempersilakan saya membaca. Ditulis kurang dari satu paragraf dengan tulisan naik turun. Penulisnya rupanya tak lain adalah adik si R yang meminta maaf karena sang kakak terkurung di LAPAS itu akibat berniat membantunya bersekolah. Di akhir suratnya sang adik menulis, "Kalau sudah keluar dari sana, semua pasti lebih baik." R dan adiknya dibesarkan seorang ibu yang bekerja sebagai pencuci pakaian, "Cuman bisa bawa pulang Rp. 150 ribu sebulan kak, padahal uang sekolah adik aja Rp. 200 ribuan lah," kisah R. Lalu R pun menjadi 'kurir' penjual narkoba di klub-klub malam. Penghasilannya kala itu? "Bisa Rp. 500 s/d Rp. 750 ribu satu malam," kata R lagi. Saat itu R belum lagi SMP kelas 2. Bisa diduga ia sendiri akhirnya sempat menggunakan pil-pil sial itu, sebelum akhirnya menjual ke aparat yang menyamar sebagai pengunjung di salah satu klub.

Di akhir pelatihan, ada 22 esai-foto yang luar biasa beragam dari adik-adik muda usia itu. Bagaimana mereka bisa bertahan di tempat itu masih jadi pertanyaan besar buat saya. Tapi pertanyaan yang lebih besar lagi saya alamatkan kepada 44 orang tua dari 22 remaja ini, kok berani-beraninya punya anak kalau ujung-ujungnya anak-anak itu harus berakhir di tempat ini?Apalagi sebagian dari ortu mereka ada yang tidak pernah muncul sama sekali, sampai-sampai salah seorang peserta pelatihan memotret pintu gerbang dari kejauhan karena cita-citanya setelah ke luar dari LAPAS itu adalah, "Mau nyari ibu, mau tanya kenapa dulu ninggalin saya, dan mau nanya tampang bapak kayak apa?"

*) Buat yang menonton film "Parenthood" ada kalimat yang menarik yang kurang lebih isinya begini: "Kalau nyetir aja perlu surat-menyurat, kenapa punya anak enggak perlu pakai izin siapa-siapa? Bukannya resikonya lebih besar?"



1 comment:

Anonymous said...

"cita-citanya setelah ke luar dari LAPAS itu adalah, "Mau nyari ibu, mau tanya kenapa dulu ninggalin saya, dan mau nanya tampang bapak kayak apa?" --> hmh.... speechless gue...