Apa sih yang menyebabkan para penguasa begitu kalap menghadapi tokoh macam Aung San Suu Kyi? Sebetulnya 'ajaran' beliau bukan barang baru. Justru mengingatkan kembali kepada keyakinan lama yang sudah jadi pengetahuan umum bangsa Myanmar sendiri. Ajaran yang sudah mendarah-daging ini terdiri dari Chanda-gati, Dosa-gati, Moga-gati, dan Bhaya-gati. Keempat-empatnya punya esensi menentang korupsi dengan alasan apapun. Kalau kemudian para penguasa 'belagak gila' dan menentang semua ajaran ini dan ada yang mengingatkan, apanya yang salah kan?
Tidak ada. Kecuali satu hal. Cara San Suu Kyi diterapkannya dengan anti kekerasan. Bila ajaran yang disampaikan sudah 'benar', dengan cara 'non kekerasan' pula, maka inilah yang jadi biang kerok kalapnya penguasa. Apalagi kalau San Suu Kyi senantiasa mengingatkan massanya bahwa pembebasan diri dari rasa takut adalah kunci untuk menghentikan penindasan! Bila cara pikir a la Barat percaya bahwa praktek penyalahgunaan kekuasaan lah yang bisa membahayakan kondisi seseorang atau sebuah bangsa, maka Suu Kyi justru memperkuat massa dengan meminta mereka menolak jadi pengecut dengan cara mematikan rasa takut. Ini ternyata jauh lebih efektif daripada menghimbau penguasa, atau mengindoktrinasi dengan kata-kata besar. Biar bagaimanapun itulah faktanya, sebelum kita menolong diri sendiri jangan harap ada uluran tangan dari luar. Jadi, penguasa resmi Myanmar sebetulnya wajib takut. Karena mereka cuman punya legitimasi menggunakan senjata, tapi tanpa itu, mereka bukan siapa-siapa.
Sehari setelah kita ikut mengenakan baju merah, mendukung aksi para pencari keadilan di Myanmar, barangkali tak ada salahnya untuk mentargetkan sikap konsisten yang berkesinambungan: bebaskan diri dari rasa takut tanpa alasan. Bukan hanya untuk mendukung Myanmar, namun juga untuk mendukung esensi kemanusiaan dan kebenaran di manapun kita berada.
No comments:
Post a Comment