Sunday, August 19, 2007

Adongo Sungkan Jadi Raja..




Adongo, salah satu putra raja Anyuak di kawasan Sudan, sudah bertekad jadi orang biasa. Ia hidup sebagai pengungsi di Ottawa, Kanada. Cita-citanya, meluruskan jalan bagi istri dan kedelapan anaknya agar bisa ikut tinggal di Ottawa. "Yang saya cari adalah zona yang aman bagi anak-anak saya, di mana mereka bisa hidup tenang dan sekolah," demikian harapan Adongo di awal tahun 2000an. Cita-cita 'sederhana' ini tak lain dipicu pengalaman hidup Adongo yang dibesarkan di kawasan konflik perang saudara yang berkepanjangan di Anyuak sana. Belum lagi meski Sudan dinyatakan merdeka sejak 1956, Adongo bilang pendidikan di kampungnya masih sebatas 'wacana'. Jangankan fasilitas pendidikan, Anyuak masih terhitung sebagai wilayah yang terisolasi, tanpa ada akses jalan darat (apalagi yang lain).
Ketika jalan yang dirintis Adongo bagi keluarganya mulai terbuka, datanglah kabar tak terduga. Ayahanda Adongo wafat dan menitipkan pesan agar Adongo naik tahta! Angelo, sahabat setanah airnya di Kanada bertanya, akankah Adongo mengambil tanggung-jawab besar itu? Jadi raja di Anyuak berarti hidup dalam pengasingan total. Sang raja juga berfungsi sebagai 'dewa' panutan rakyat setempat, sehingga ia tak boleh ada kontak dengan manusia lain kecuali di saat-saat sangat penting. Ia tak boleh keluyuran atau berkunjung ke rumah 'rakyat' biasa. Ia bahkan tak boleh makan bersama manusia lain. Adongo terdiam. Di Ottawa ia baru saja kursus membawa mobil untuk memperoleh SIM. Tadinya ia berpikir akan jadi ayah yang mengantar anak-anaknya ke sekolah atau jalan-jalan seperti para kepala keluarga pada umumnya. Menolak tahta berarti melahirkan anarki di kerajaan yang masih primitif itu. Dan pergulatan Adolfo sebagai manusia, ayah, dan pimpinan pun dimulai. Pertama, ia menerima pucuk pimpinan selaku raja di Anyuak dengan tekad mengadakan sejumlah perubahan di antaranya; membangun jalan termasuk jalur pendaratan pesawat kecil, memperkenalkan cara bercocok tanam 'masa kini', mendirikan sekolah, dan membuka sarana kesehatan. Kedua, Adongo tetap mendatangkan keluarganya ke Kanada, meski ini berarti mereka harus tinggal di Ottawa tanpa dirinya. Angelo, sahabat setianya menitikan air mata, ia tahu ini bukan pilihan main-main, tapi Adongo mencoba melakukan yang terbaik dalam posisinya yang sekarang. Adongo bahkan mengaku, "Hati saya pasti mengeluh, tapi mulut saya tak akan pernah.."


Kedelapan anak Adongo tiba di Ottawa, dan beberapa bulan kemudian sang ayah harus bertolak ke Anyuak. Saat berpisah Adongo berpesan pada putra-putrinya, "Setiap orang, di suatu saat, pasti akan kehilangan ayahnya. Karena itulah kalian di sini, karena ayah ingin memberikan sesuatu yang tak mungkin bisa hilang, (yaitu) pendidikan." Lalu Adongo berangkat dan tak pernah bisa menjumpai keluarganya hingga bertahun-tahun kemudian. Ini tak mengherankan, karena menurut tradisi Anyuak, sang raja memang harus 'mangkal' di tempat. Urusan tradisi ini tak mudah dilawan, apalagi para 'polisi' tradisi adalah orang-orang usia lanjut yang yakin betul tak perlu lagi ada yang dirubah di Anyuak! Jadilah Adongo harus melobi para sesepuh ini agar mau mengijinkannya melakukan perubahan sedikit demi sedikit. "Merubah tradisi tak bisa dilakukan dengan mendadak, namun tanpa melakukan perubahan kita akan dipaksa berubah oleh keadaan secara lebih menyakitkan," ungkap Adongo di awal kehadirannya di Anyuak.
Adongo mulai mengkompromikan keterasingannya dengan menggunakan 'walkie-talkie' agar bisa berkomunikasi dengan stafnya di luar 'istana'. Belakangan ia sudah memberlakukan telepon satelit. Para sepuh sebetulnya tak paham betul kepentingan peralatan ini, tapi berkat lobi yang mulus, mereka pun diam saja. Cara bercocok-tanam a la 'purba' mulai ditinggalkan, Adongo meyakinkan rakyatnya agar mau bertani cara 'baru' (sebetulnya cara 'baru' ini tidak baru-baru banget, lebih ke membajak tanah dengan tenaga kerbau/sapi), karena bila hasil panen meningkat mereka bisa mencari 'pasar'. Nah, karena perlu pasar mereka otomatis perlu jalan ke dunia luar. Belakangan Adongo mulai membujuk agar rakyat mau membuka jalur pendaratan pesawat kecil (air strip), para sesepuh menganggap ide ini kelewatan! Apalagi saat diterangkan tak ada yang perlu ditakutkan karena pesawat itu juga buatan manusia! Para sepuh kekeuh, semua yang bisa terbang pasti buatan dewa-dewa! Pentingnya air-strip ini baru terbukti ketika wabah kolera datang dan menewaskan 12 penduduk dalam seminggu, bantuan NGO dan pemerintah pusat pun datang setelah Adongo menelepon via telepon satelitnya sehingga sebuah pesawat kecil datang dengan makanan dan obat-obatan.
Di Ottawa, putra-putri Adongo kini cas-cis-cus dalam bahasa Inggris yang baik dan benar. Kedua putranya yang tertua dan telah berusia 20an sudah meninggalkan rumah dan bekerja. Keberhasilan sang ayah memajukan Anyuak rupanya harus dibayar mahal, para putra-putrinya tak bisa memaafkan ketidakhadiran Adongo dalam kehidupan mereka. Balik ke Anyuak, Adongo harus menunda lagi rencananya ke Ottawa karena ia harus melobi pemerintah pusat agar menugaskan sejumlah guru di sekolah yang sudah didirikannya.
Kisah Adongo ini terangkum dalam sebuah dokumenter berjudul "The Man Who Became King" yang ditayangkan saluran televisi National Geographic. Ini bukan acara yang mengundang rating, tapi membuat kita masih bisa punya 'faith' dengan medium televisi. Seperti Edward Morrow pernah bilang, "Siapa yang ada di balik stasiun televisi itulah yang bisa menentukan apakah medium ini bisa jadi penting atau tidak. Karena bila diisi dengan asal-asalan, televisi memang cuman sebuah kotak dengan frekuensi warna pembentuk gambar dan suara. Itu saja." Selama televisi kita masih ngeles dengan rating dan berisi gebyar program ASTRADA (asal gambar terang suara ada), jangan heran kalau kitapun jadi tengil dan terjebak untuk bilang, "Jangan nonton TV deh, enggak mendidik." Padahal nonton layar tancep, hari gini juga udah susah tau..

No comments: