Dua kelompok dampingan kami sudah di tahap penyuntingan akhir kedua film pendek yang mereka buat sepanjang pelatihan. Kepala kami ada di sejumlah tempat. Bom itu kenapa terjadi lagi? Kenapa sekarang? Kenapa? Saya masih mencoba memonitor apa yang terjadi di Jakarta dengan bertukar kabar via yahoo messenger. Kawan saya yang membantu proses penyuntingan salah satu kelompok terdengar bertanya kepada sang sutradara, "Gambar yang ini maksud kamu mau disambung ke mana?" Jawaban sang sutradara, "Gambar itu maksudnya buat persediaan kak." "Oke, tapi nyambungnya kemana?" tanya kawan saya lagi. Nadanya kini lebih tinggi. Ledakan bom sial di Jakarta itu rupanya membuat kami lebih serius dari biasa."Apa semua gambar memang harus bisa nyambung kak?" tanya si sutradara lagi. Saya menahan tawa sambil menatap layar notebook, di kotak chatting kawan saya mengabarkan SBY akan berpidato. "Ya iyalah! Kalau engga bisa nyambung gimana filmnya bisa jadi?" jawab kawan saya, kini lebih tegas. "Oh gitu ya kak? Laillahaillalahh.... susah betul ini bikin film??" respon si sutradara itu sekarang. Saya dan kawan saya kini tidak bisa lagi menahan tawa.
Kalau tadi kami pusing soal bom, kini giliran kawan-kawan remaja itu yang pusing soal logika gambar film yang 'wajib bisa disambung satu dan lainnya', dan bahwa untuk bikin film sependek tiga menit mereka perlu syuting tiga hari, dan menyunting dua hari, dan bahkan sampai beberapa jam sebelum diputar, film mereka belum kelar. Soal bom di Jakarta itu? Mereka tampaknya tidak pusing benar. Cuman satu di antara kawan remaja itu yang tadi bertanya, "Rumah kakak bukan dekat-dekat Kuningan kan?" Saya menggeleng, ia pun tak bertanya lagi. Barangkali persoalannya bagi dia memang selesai, selama tidak ada korban yang ada hubungan langsung dengannya atau dengan kami, maka ledakan bom itu bukan masalah besar. Bagi 'mantan remaja' macam kami tentu cara pandang kami urusan bom itu lain lagi.
Tapi mungkin ada cara lain dalam mencari keterkaitan antara ledakan bom di ibu kota dan kawan-kawan remaja di Makassar atau di manapun saat itu. Bayangkan apa yang mereka bayangkan, dan kenapa mereka harus pusing urusan bom di Jakarta kalau ada urusan lain menghadang di depan mata kan? Sebut saja, film yang harus kelar sore itu juga, perguruan tinggi yang harus didaftar ulang (bagi lulusan SMA yang mampu tentunya), pekerjaan yang ternyata memberi kemewahan hidup mandiri di usia remaja biarpun masih saja ada yang perlu dicari-seperti akses untuk membuka akun Facebook misalnya, atau kawan yang jumlahnya ternyata kelar di batas wilayah tinggal dan karenanya harus dikejar hingga ke lain kota, atau hari-hari awal masuk sekolah yang bisa ditinggal karena kurang menarik dibanding belajar bikin film (meski cuma film pendek), atau perjuangan menaklukkan niat setengah hati untuk masuk ke jurusan IPA demi menyenangkan orang-tua, atau pacar yang kelihatannya sudah mulai malas menjawab SMS, dan mungkin ini baru sebagian dari urusan-urusan yang mungkin kecil di mata kita tapi sangat besar di mata remaja.
Urusan 'super besar' di mata remaja kerap bermuara pada kebutuhan mereka untuk selalu menjadi bagian dari kelompok yang lebih besar dan karenanya selalu ada energi dan niatan yang seakan tak henti untuk terus berlari meninggalkan satu titik menuju ke titik yang lain, yang sedemikian jauh dan tak terlihat oleh orang lain bahkan mungkin tidak juga oleh diri mereka sendiri. Mereka akan berlomba mencari kawan dan kerap kesulitan berkawan dengan sosok yang terpenting dan terdekat dengan mereka yaitu diri mereka sendiri. Mereka akan peka terhadap beragam suara yang bisa datang dari mana saja, tapi kerap mengabaikan suara yang terpenting dan terdekat dengan mereka yaitu suara mereka sendiri. Mereka akan cenderung lebih percaya pada apapun yang dikatakan orang mengenai mereka, tak penting apakah orang-orang itu mengenali mereka dengan baik atau tidak (meskipun motivasi orang-orang itu kerap untuk keuntungan pribadi), dan karenanya mereka kerap tidak mempercayai sosok yang seharusnya harus mereka yakini yaitu diri mereka sendiri. Mereka bisa menapaki jalan yang diambil orang lain dan tak kunjung menapaki jalan yang seharusnya membuka peluang yang lebih luas bagi kehidupan mereka, yaitu jalan yang mereka tentukan sendiri.
Bayangkan, berapa kali para remaja itu harus mengalami tiba di persimpangan dan dipaksa untuk menentukan pilihan? Itulah saat penting yang istilah kerennya kerap disebut sebagai 'defining moment', alias saat penentuan. Perkaranya, saat penentuan itu datang di waktu yang relatif berbeda bagi tiap orang. Dan tidak ada satupun mata pelajaran, buku pintar apalagi workshop yang bisa membantu memberikan jaminan keberhasilan bagi remaja yang sedang berhadapan dengan tekanan, agar bisa membuat keputusan yang tepat ketika saat penentuan itu datang. Dalam beberapa kasus, mungkin mereka bisa bertanya atau minta pendapat pada orang-orang yang mereka percaya (kalau mereka punya 'orang kepercayaan'). Namun sebenarnya, kerap kali mereka harus memutuskan banyak hal-sendirian. Dan di saat itulah barangkali mereka akan menimbang-nimbang, berdasarkan apa yang mereka lihat, apa yang mereka dengar, dan apa yang mereka ingat dari serangkaian interaksi dengan sejumlah orang yang pernah mereka jumpai sepanjang hidup mereka yang belia itu. Seringkali, mereka sendiri diam-diam sudah tahu apa yang harus mereka lakukan, tapi mungkin tidak selalu yakin untuk mengutarakannya dan karenanya perlu orang lain di sekitar mereka untuk dijadikan papan lontaran yang bisa memantulkan jawaban mereka ke diri mereka lagi dengan bertanya balik (bila yang bertanya masih ragu), atau mencoba memberikan opsi dengan meyakinkan bahwa selalu ada pilihan (bila yang bertanya tampak putus asa). Karena memang betul opsi itu selalu ada.
Apa sih yang sebetulnya dibutuhkan remaja dari para pensiunan remaja seperti kita? Menurut saya, membungkam suara remaja dan men-dubbing-nya dengan suara kita bukanlah hal yang bijak. Membuatkan keputusan untuk mereka juga tidak dianjurkan. Menjadi teman? Yang seperti apa dulu? Teman 'statistik' a la Facebook? Atau yang sok asik dengan terus membenar-benarkan? Rasanya juga bukan itu yang diperlukan. Saya ingat sejumlah kawan remaja di sekolah-sekolah non unggulan yang justru merindukan adanya struktur dan disiplin hingga taraf yang masuk akal ditegakkan di sekolah mereka. Jadi apa? Mungkin ini uniknya, meski saat ini ada sekitar 40-an juta penduduk usia remaja di negeri ini, dan seluruh struktur kenegaraan, pendidikan serta bidang-bidang 'penting' seluruhnya diatur oleh pensiunan remaja, kita sebetulnya tahu terlalu sedikit soal remaja. Karenanya, mungkin sebetulnya kita yang perlu mereka untuk jadi maha guru yang mau mengajari soal dunia mereka. Mereka sendiri mungkin perlu 'murid' usia 'lanjut' yang lebih rendah hati dan lebih mampu minta maaf karena selama ini kelewat berani mengambil atau membuat beragam keputusan atas nama remaja tanpa tahu konteksnya, juga lebih mau pasang kuping, lebih tulus tutup mulut kala remaja harus bicara .
Balik lagi ke soal dua bom di Jakarta baru-baru ini. Hubungannya dengan remaja? Silakan berandai-andai, apa yang terjadi saat para pelaku masih remaja? Berapa banyak masalah 'super besar' kala mereka remaja yang tak terselesaikan? Berapa banyak 'pensiunan remaja' kala mereka remaja yang pernah bilang bahwa opsi yang pro pada kehidupan itu selalu ada? Dan berapa sering mereka didengar kala mereka remaja? Mungkin, kalau kita sepakat untuk mulai berguru pada remaja, mudah-mudahan kelak tak perlu lagi ada ledakan. Di manapun itu...
Kedua film pendek karya kawan-kawan remaja Makassar kelar tepat waktu. Sutradara yang tadi siang istighfar sore itu bilang, "Setelah tahu susahnya bikin film, kita jadi lebih bisa menghargai orang yang kerjanya bikin film."
Kalau tadi saya ketawa-ketawa, tenang aja. Di umuran para remaja Makassar itu saya enggak lebih pintar daripada mereka baik soal bikin film, juga soal-soal lain.