Saturday, July 14, 2007

(No) Cut and Paste!

Salman Rushdie menulis sebuah esai soal film klasik The Wizard of Oz. Dia mengajak pembaca memperhatikan impian Dorothy tentang 'kawasan bebas masalah' yang membawa Dorothy ke petualangannya yang ajaib itu. Berbeda dengan anggapan umum bahwa film ini bertema soal keindahan rumah (home), Rusdhie justru menganggap 'kawasan bebas masalah' Dorothy adalah tanah impian yang jauh dari rumah, dan hanya dengan meninggalkan rumah dan mencapai tanah impian itulah ia bisa meraih cita-citanya. Dan hal inilah yang membuat orang-orang seperti Salman Rushdie yang dulunya seorang imigran asal India, bisa terus merasa paham dengan impian Dorothy. Dan pada akhirnya pemahaman soal 'rumah' itulah yang menurut Rushdie layak ditinjau ulang. Baginya 'rumah' (home) adalah tempat dari mana seseorang memulai perjalanan hidupnya.

Cara pandang ini menarik bagi saya. Selama ini saya mengenal dunia Oz dan Dorothy dari kaca mata peninggalan saat saya kecil dulu. Saya ingat di akhir film Dorothy kembali ke rumah dan mencoba bercerita soal petualangannya meski tak ada satu orangpun yang percaya. Tapi saya, dan jutaan penonton lainnya, memilih untuk percaya pada perjalanan Dorothy.

Esai Rushdie membuka diskusi yang menarik. Silakan tidak setuju, tapi tolonglah sisakan sedikit ruang buat kemungkinan lain dalam memandang sebuah karya kreatif/seni, seperti The Wizard of Oz ini. Cara pandang adalah kemewahan bagi orang yang mau berpikir. Dan berpikir a la Rushdie bukanlah 'sok mikir' tapi 'asal', jelas betul buah pemikirannya itu sudah melampaui ujian sang waktu. Kalau Anda baca esai itu, Rusdhie mengaitkan pendapatnya dengan masa kecilnya di India, dan bagaimana ia dibesarkan orang tuanya saat itu, dan kita jadi paham mengapa ia merasa dekat dengan dunia Dorothy, sekaligus punya sudut pandang yang berbeda dalam melihat dunia itu. Ia mencontohkan karakter ayahnya sendiri yang menurutnya bak salah satu tokoh dari film Oz, menyenangkan di suatu saat dan mengerikan di saat lain. Ia juga menutup esainya dengan mengaku, betapapun tiap orang di suatu masa dalam hidupnya pernah yakin bakal mampu jadi orang tua yang lebih baik daripada orang tua mereka sendiri, Rushdie sendiri dengan jujur berkata, setelah ia jadi ayah, ia juga bukan ayah yang sempurna. Namun, bagaimanapun manusia tetap perlu impian, hingga titik tertentu, agar kita percaya, ada hal yang lebih baik yang bisa kita coba jangkau nantinya.

Balik ke judul tulisan kecil saya kali ini: kaitannya dengan esai Rushdie? Ada dong! Begini, yang paling gampang menilai sebuah karya itu adalah dimulai dengan menggunting-tempel (cut and paste) dari katakanlah press release-nya, apalagi kita hidup di jaman internet kan? Lalu, mulailah 'sok berpendapat' dengan memilah hasil cut and paste itu berdasarkan gambarnya, dialognya, aspek tehnisnya. Padahal, untuk bisa menawarkan cara pandang sehingga pembaca atau siapapun itu bisa tertantang secara intelektual, tentunya yang menulis harus bisa mengajak kita untuk menemukan lapisan lain yang bisa jadi tersembunyi di balik teks atau apa yang kita lihat di layar lebar, atau apa yang kita dengar bila 'bendanya' kebetulan sebuah lagu. Dan untuk itu, perlu sejumlah 'modal' seperti wawasan dan pengalaman hidup. Buat dua hal yang terakhir ini ada cara yang jitu meski barangkali kurang 'seru': membaca dan mendengarkan. Semakin banyak yang kita baca atau kita dengar, mudah-mudahan semakin sering kita mengajukan pertanyaan adakah hal yang tidak kita lihat saat kita baca pertama kali? Atau, adakah hal yang kita pikirkan secara berbeda dibandingkan dengan cara pikir si penulis?


Saya bilang proses di atas mungkin kurang seru karena pastinya 'kurang tampil'. Berbeda dengan surfing di internet sambil mencantumkan komentar di beragam blog, dan meng-cut and paste tulisan dari blog orang lain (meski disebutkan sumbernya) untuk dipakai sebagai pendukung pendapat si 'komentator'. Namanya pasti langsung tampil dan bisa jadi dikenal oleh pengrajin blog lainnya, tapi apakah ini awal yang baik untuk jadi pekerja kreatif/seni? Profesi di lahan seni/kreatif itu perlu pengendapan dan proses panjang. Dan bahaya cut and paste adalah, kalau tidak hati-hati si pelaku bisa jadi plagiator. Ini pernah terjadi saat pertama kali saya punya blog sebagai test case, suatu saat ada tulisan yang plek ketiplek sama persis dengan tulisan di blog saya dengan nama penulis yang berbeda dan isinya dirubah-rubah sedikit. Saya pun jengkel dan menegur langsung, karena hal macam itu tak bisa dibenarkan. Si pelaku minta maaf, alasannya beliau bermaksud menyimpan tulisan itu ke flashdisk-nya, tapi kok ya ter-published di blog-nya. Ini alasan yang aneh sebetulnya, tapi sudahlah. Intinya, daripada sok tua dan sok tau, kembali lah ke jalan lama, yang memang tidak punya jalur pintas, ya berproses itu tadi. Baca-baca lagi (bukan baca blog, baca beneran baca), belajar lagi, dengarkan lagi, endapkan lagi, tulis lagi, lalu kembali dari awal lagi. Wong caranya memang cuman begitu kok? Kecuali kalau sudah pasrah cuman mau pinjam pendapat orang lain, atau memang mau jadi 'bintang blog' (tapi ini kan bukan karir?). Sampai kapan?