Thursday, September 28, 2006

Tornado, Tornadoistas..













"Kopinya instan apa bukan Mas?" itu pertanyaan standar saya kalau saya 'sakau' kafein di resto/'kafe' atau tempat makan yang saya tak kenal betul. Kalau jawabannya kopi instan, saya memutuskan tak jadi pesan. Karena dampak psikologisnya bisa gawat, buat saya, buat resto yang bersangkutan, dan buat siapapun yang ditakdirkan sedang bersama saya saat itu. Saya heran dengan pemikiran pengelola resto/'kafe' yang menggampangkan urusan kopi. Menurut saya, sangat tidak bertanggung-jawab lho mencantumkan harga seputar Rp. 15 ribu untuk kopi yang tidak diolah dengan profesional. Kalau cuman kopi instan dibanjur air mendidih, ya jangan dimasukkan ke daftar menu dong, sekalian saja bilang ke pengunjung, "Silakan bawa termos."

Sejauh ini, dalam tiga tahunan terakhir buat saya, belum ada yang bisa mendekati 'kebenaran' rasa kopi olahan Tornado. Rasa kopi Tornado pas buat pecinta kopi kelas berat. Rasa kopi tempat lain (terserahlah mau terkenalnya seperti apa)-bagi Tornadoistas (istilah karangan saya) bisa dibilang lebih cocok bagi peminum kopi pemula, atau peminum 'kopi gaul' (cuman minum kopi saat bergaul). Para pengunjung yang ngopi di Tornado wajahnya cenderung 4 L (Lo Lagi Lo Lagi), tapi mereka peminum kopi serius. Tornado juga tak pernah beriklan, jadi 'promosi'nya lebih via 'testimonial' para pecandu kopi yang awalnya coba-coba lalu kembali lagi ke tempat itu. Sang baristanya bahkan sudah tahu ramuan kopi yang sesuai dengan selera para 'banci kopi' yang kerap (atau bahkan senantiasa) nyangkut di Tornado. Buat pecandu kopi serius seperti saya, kami baru akan ke gerai kopi lain kalau saat kepingin ngopi kami berada di tempat yang kelewat jauh dari Tornado. Buat saya, Tornado adalah tempat penting sekaleee buat para 'banci kopi' yang rewel pula seperti saya.
Jadi ibaratnya, di negara kita yang semua serba tak pasti ini, presiden dan kabinet bolehlah ganti, tapi tempat ngopi yang ini mudah-mudahan tetap abadi..

Catatan: tulisan ini tetap swadaya lho, bukan advertorial atas pesanan Tornado! Jadi biarpun besok saya ke sana, bukan berarti saya bisa ngopi gratis geto..










1 comment:

Anonymous said...

Ada satu lelucon yang menarik dari sebuah jamuan makan malam di istana Kerajaan Inggris, Buckingham Palace. Biarkan aku mengisahkannya padamu.

Pada jamuan makan malam itu, Sir Winston Churchill dikisahkan bercakap-cakap dengan bangsawan Inggris yang anggun bernama Lady Nancy Astor:

Lady Nancy Astor: “Jika kau adalah suamiku, Winston, aku akan menyuguhi kopi yang rasanya seperti racun.”

Winston Churchill: “Jika aku adalah suamimu, madame, aku tetap akan meminumnya.”

Jangan heran jika Pak Seno, dalam salah cerita Dewi Lestari yang terkenal, pernah titip pesan begini: “…kita tidak bisa menyamakan kopi dengan air tebu. Sesempurna apa pun kopi yang kamu buat, kopi tetap kopi, punya sisi pahit yang tak mungkin kamu sembunyikan.”

Ya, bukankah seperti itu juga hidup?

Orang boleh pergi ke salon seminggu empat kali untuk menghaluskan wajah dan menyegarkan rambut. Tetapi bukankah tetap akan ada setidaknya sebiji jerawat atau sebintik komedo juga sebutir ketombe?

salam kenal

zenrs di www.pejalanjauh.blogspot.com